Hidup Ideal(is)
Kisah ini dimulai sejak dia melangkahkan kakinya lepas. Disambut dunia yang menawarkannya banyak pilihan, yang bahaya layaknya kaca tipis, indah nan rapuh.
Terlepas dari sosialisasi di hangatnya ikatan darah, sosialisasi dengan manusia lain begitu berdampak. Mengenal dan percaya, yakin dan kemudian melakukan. Tanpa sadar, arus informasi membawanya pada euforia menjadi manusia seutuhnya. Definisinya berkembang dari pengalaman belajarnya di rumah, terus berkembang dari paparan interaksi manusia lainnya, dan berkembang akarnya, menguat dan menjadi nilai dalam dirinya. Proses tak berujung, menjadi manusia ala definisi susunannya. Mencari hingga temu kemutlakan sebagai ‘aku’. Nilai yang melekat pada manusia seutuhnya begitu abstrak. Filosofi tiap manusia dalam ‘berhidup’ menjadi unik dan kekhasan dirinya. Entitas yang tak benda namun mematerilkan. Setiap nilai yang lekat itu termanifestasikan dalam bentuk ide, cara berpikir, sikap, hingga perilaku. Perdebatan klasik tak berkesudahan adalah tentang apakah gagasan itu realitas yang benar, atau realitas itulah dasar menemukan kebenaran. Hematnya, ini tentang menjadi manusia idealis atau realistis.
Sosialisasi yang kita dapat sejak kecil adalah bahwa hidup haruslah punya cita-cita. Tema cita-cita selalu ada dalam pelajaran bahkan di tingkat pendidikan anak usia dini sekalipun. Biasanya, cita-cita yang muncul adalah profesi yang ingin dilakukan ketika dewasa nanti. Dokter, polisi, dan guru menjadi tiga teratas cita-cita anak. Meski secara formal, sejatinya pengajaran adalah mengenai transfer pengetahuan yang menjadi stimulus individu dalam pengembangan intelektualitas diri. Namun, seiring berjalannya waktu dan tumbuh kembang manusia dari satu fase ke fase selanjutnya, pengajaran tersebut menjadi bagian dari sosialisasi-sosialisasi sejak dini. Contoh pengajaran mengenai cita-cita tadi kemudian berproses menjadi suatu hal yang membuat manusia hidup berdasarkan pada cita-citanya. Harapan, khayalan, dan fantasinya adalah kesempurnaan hidupnya. Bagi mereka yang stabil kehidupannya, tahap mengejar hidup yang demikian bisa jadi hingga dia matang dan dewasa. Namun, bagi seseorang dengan kehidupan yang tak stabil, berusaha hidup mengejar sempurna versinya bisa jadi hanya dilakukan sampai dirinya seumuran anak SMA atau anak kuliahan.
Semakin dewasa seseorang, dia akan semakin melihat dunia dengan kacamata pribadinya. Tidak lagi meniru orang di sekelilingnya, tidak lagi sekonyong-konyong patuh pada sosialisasi yang didapatnya. Semakin dewasa, manusia semakin pintar menimbang dan menyaring. Apakah yang dia dapatkan dari hasil interaksi itu sesuai dengan apa yang dia percayai, atau bertentangan dengan hal tersebut. Konflik dengan diri sendiri, kemudian akan muncul ketika nilai yang dianutnya harus tertampar pada keadaan yang tak mendukung lestarinya nilai itu. Kita kemudian menjadi berpikir keras dan pergolakan batin pun terjadi. Kita akan selalu mempertanyakan apakah ide dan gagasan saya benar sebagai suatu realitas atau realita yang benar adalah sesuatu yang bebas dari pikiran manusia? Nilai-nilai dan perkembangan keyakinan kitalah yang akan membantu menemukan jawaban tersebut. Kebanyakan orang tua menuturkan pada anaknya yang telah tumbuh dewasa bahwa dia haruslah menjadi orang yang realistis, yang tak melulu menuntut dan juga tidak menjadikan waktunya sia-sia mengejar ‘cita-cita semu’. Maka apakah menjadi dewasa sama artinya dengan menjadi realistis?
Dewasa dalam tulisan ini tidaklah menyasar dimensi fisik melainkan kondisi seimbang antara keberanian dan pertimbangan. Definisi ini turun dari Covey, penulis buku The Seven Habits of Highly Effective People, bahwa manusia dewasa adalah manusia yang berani melakukan suatu hal disertai pertimbangan yang seksama. Keberanian tanpa pertimbangan bijak atau pertimbangan penuh hingga membuatnya tidak melakukan apa-apa adalah bentuk ketidakdewasaan. Kembali mengenai idealisme dan realisme, terdapat definisi singkat menurut Conty yang dapat membuat kita sekalian lebih mudah memahami filosofi ini. Menurutnya, idealisme adalah suatu anggapan bahwa ide-ide merupakan realitas yang benar, filosofi ini mengupayakan sebuah penemuan yang benar dan bukan menciptakannya. Sedangkan realisme menurut Conty adalah pandangan bahwa realita itu ada dan sifatnya bebas dari pikiran manusia, materi di dunia itu nyata dan bebas dari pikiran manusia. Bagi penulis, menjadi idealis artinya yakin dengan kebenaran versi diri kita sendiri dan realistis artinya bersikap mengikuti lingkungan sekitar kita. Kedua filosofi ini kerap kali dibenturkan dan dipertantangkan. Benturan tersebut kemudian memunculkan konflik, salah satu contohnya adalah ketika seseorang yakin bahwa menjadi sarjana adalah kesempurnaan hidup dan dia tidak mampu mewujudkan kesempurnaan itu karena tamparan realita bahwa kondisi finansial dan harapan di keluarganya, menuntutnya menjadi karyawan minimarket berkat lembar ijasah SMA. Manusia acap kali demikian adanya, tak hanya mengenai harapan dirinya tapi juga lebih banyak hal tentang harapan keluarga dan orang lain di sekitarnya.. Manusia secara individu tidak dapat lepas dari sosialisasi dan interaksi.
Idealisme dan realisme tak dapat selamanya dipertantangkan. Jika menjadi dewasa adalah sampai pada keseimbangan keberanian dan pertimbangan, maka menjadi manusia ideal perlu keseimbangan antara idealisme dan realisme. Keseimbangan yang koheren antara keduanya diperlukan untuk menyampaikan kita pada tahapan menjadi manusia seutuhnya. Menjadi manusia versi kita juga tidak berarti menutup telingan dari harapan orang-orang atas diri kita. Penulis ingat, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Idealis dan realistis, keduanya diperlukan dalam kehidupan dan nilai yang diyakini dalam diri seseorang. Sikap idealis diperlukan sebagai alat evaluasi untuk selanjutnya menjadi dasar perbaikan keadaan realita. Sedangkan sikap realistis, diperlukan untuk memahami kondisi nyata dalam kehidupan. Rasanya, tidak mungkin seseorang selamanya hidup idealis ataupun realistis. Kita perlu dinamika dalam hidup, menjadi statis dengan arus adalah menjenuhkan, menjadi acuh pada kenyataan dan keras pada keyakinan adalah melelahkan. Dan bukankah dinamika itulah kehidupan?
Selalu menarik
BalasHapus