Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2020

4 - Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka

Pagi kembali lagi, udara sejuk menyelip di antara aku. Ku naikkan selimutku agar hangat tetap bersamaku. Pintu berdecit, jejak langkah terdengar begitu mantap dan yakin. Saklar lampu yang dimatikan, kicau burung yang menenteramkan. Aku masih memejamkan mata sembari mengingat-ingat mimpi apa aku barusan. Ada yang membuka keran depan. “Kamu harus lihat ini Na, mereka sudah tumbuh dengan baik…” Suara itu sangat indah, memanggil dengan cara yang selalu ku suka. Ku turunkan selimut, ku lipat ia menjadi kotak. Kaki pertamaku turun menyerap dingin, namun ia cepat beradaptasi. Aku mengikat rambutku acak. Berjalan dengan penasaran dan segera. Kamu di sana, berdiri dengan semangat dengan selang air di tangan kanan. Mengajak bicara tanaman, menyanyi bersama burung-burung, dan mengucapkan terima kasih pada langit yang mau menjadi terang lagi. "Selamat pagi Awan," aku menyapamu dengan begitu riang. Menyadari hari telah berganti dan kita tetap di sini. Aku berkeliling dan melihat anak

3 - Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka

Makan siang telah siap, masakan yang sama sekali tidak memiliki konsistensi rasa, yang herannya kamu suka-suka saja. Mungkin itulah definisi manusia yang menghargai makanan dan semua keringat di belakangnya. Bisa juga itu ialah hati-hatinya menjaga perasaan. “Kamu kenapa dulu tidak semangat belajar memasak?” Kamu membuka obrolan nyaris pada suapan pertama. “Karena tidak suka, lagi pula aku jarang di rumah. Menyejahterakan orang lain dengan membeli dagangannya juga ide baik kan?” Ku angkat sendokku tepat di depan mulut yang tidak sabar untuk hap. “Aku pintar masak, masakanku enak.” “Pamer, kebiasaan.” Langsung kamu menyambarku dengan jawaban andalan sepanjang masa, “ini bakat, dari Tuhan, harus dikembangkan.” "Bangga dengan bakat pamer dan sombong." Ku putar bola mataku, hampir aku benar-benar mulai makan, “Kamu….” “Makan, kunyah, telan. Aku juga mau makan,” akhirnya, suapan pertama. Aku melihat kerut di pelipismu, di pipimu, di masing-masing ujung bibirmu. "

2 - Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka

Kemudian, aku mengangkat wajah dengan sedikit yakin, bahwa ada hal-hal yang memang tidak seharusnya dengan mudah ku sampaikan pada orang lain. Otak manusia barangkali memang sama, tapi isi kepala tidak ada yang benar-benar dapat membuatnya sama. Dengan sadar, senyum lahir dengan suara pelan. Aku memelankan jalan, memendekkan langkah, lalu berhenti dalam hitungan ketiga. “Kamu tahu aku di sini?” “Pendengaranku cukup bagus untuk mengetahui ada langkah lain yang tergesa padahal sepanjang jalan tidak ku temui siapa-siapa.” Lalu kita, membuka suara bersama, “aku salah.” “Ada banyak hal yang bisa kita lakukan hingga-hingga mentari hari ini menjadi terang dan awan betah mendampinginya agar manusia tak banyak mengeluh jadinya.” “Ya, tentang pertanyaan spontanku tadi, aku simpan dulu untuk nanti. Mungkin setelah kamu menjadi tidak sesensitif ini.” "Sejak kapan aku sensitif?" "Emm... Ingat? Aku banyak bicara, kepalaku lebih banyak lagi, dan aku memang tidak sabar untuk

Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka.

Pagi, sejuk, dan lempung yang basah. Aroma manis menyoraki butir embun yang segera jatuh terganggu gelayutnya. Jauh batas pandang mata sana, dunia mulai membangun mimpi-mimpi yang semalam dikumpulkannya. Jalanan mulai dipaksa menampung semua orang dan besinya. Aku meletakkan ceret dan yang lainnya di tengah galengan tipis. Membuat kita tak bisa jauh-jauh dan senang berpegang satu sama lain. Menggelar alas daun pisang untuk duduk, membuka bungkus pisang goreng yang hampir saja menjadi gosong karena ditinggal untuk memanggil jiwamu kembali padaku. Kau ambil gelas untuk kita berdua, ku tuang wedang untuk menghangatkan kita. Lalu menyeruputnya bergantian dan menandai bekas masing-masing bibir yang gemar merapal doa dan pinta. Mataku menghampiri gunduk dengan pohon kelapa di atasnya. Kita pernah di sana, saat malam perlahan jatuh ke dunia, saat jerami membuat merah kulit kita. Aku menyimpannya baik-baik di bilik kenangan yang tak seberapa kapasitasnya. Kamu masih tertunduk dengan kaki ya