Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

sampai-nanti

I Malam ke-30  bulan ini Selamat datang lagi di blog saya yang ya... barangkali tidak banyak manfaatnya untuk kalian semua. Kepadamu yang sudi untuk singgah di sini, saya ucapkan selamat datang dan terima kasih, saya akan sangat senang jika blog saya yang layaknya semesta kecil ini menjadi bagian dari sedikit saja dunia kalian. Planet-planet yang sama berporos pada Yang Maha ataupun berporos pada awal dan akhir serta ada dan ketiadaan. Saya ingin meninggalkan jejaknya di sini, cerita tentang pertemanan atau bahkan mungkin jika pihak kedua setuju, sebutlah ini tentang persahabatan yang saya tidak pernah kira akan terjalin cukup lama dengan keadaan yang semakin ringkih dan kering. Setiap manusia bertumbuh, setiap bertumbuh adalah baru, setiap baru adalah masalah, dan kecemasan, dan kebencian, dan pengharapan, juga banyak rasa khas nafsu manusia lainnya. Saya lupa tepatnya kapan kami saling kenal, tapi saya kira, kami (saya dan teman saya), sudah saling tahu sejak hampir tujuh tahunan lal

Ironi

Ada beberapa hal yang nyatanya adalah sepasang ironi. Entah bagaimana jagat ini membuat itu ada, tapi pekerjaan takdir adalah tidak selamanya membahagiakan. Sumber bahagia bisa jadi ialah kekangan atas nama cinta dan kasih yang sungguh pembodohan. Dan sedangkan pada pembodohan itulah lahir hasrat untuk bangkang dan menjadi bebas. Pada banyak hal yang melenakan jiwa tapi mengikis kesadaran itu, sakit paling tanpa obat adalah kematian akal. Ikatan adalah muslihat jeruji yang entah kuncinya apa selain khianat yang dibenci semua nyawa. Tapi, dunia ini adalah pasangan-pasangan ironi. Dunia ini, lahir dari sepasang ironi.

Sempolan Dua Bungkus

Kebulan asap beraroma menggiurkan memenuhi dapur kami. Memang tak terlalu bersih sebagaimana dapur-dapur berada. Lantainya masih semen, atapnya masih bocor kalau hujan, kompornya dengan api yang sesekali malu-malu karena tabung yang menjelang merah, peralatan pun tak lengkap. Dapur kami, jarang kami gunakan untuk memasak sebagaimana dapur dengan Ibuk yang bekerja untuk keluarga dan kantornya adalah seisi rumah. Waktu-waktu sibuk dan genting, akhirnya dapur kami akrab dengan mie, telur, air, dan tidak banyak teman dekat. Ngomong-ngomong, pandemi ini benar-benar menyenangkan dan menyulitkan dilainan sisi. Ditambah lagi, kalian tahu? Tetangga dan ya... Saudara kami, positif covid-19. Jujur saya turut prihatin mendengarnya, tapi saya juga cukup muntab dengan kelakuannya. Sejak beberapa minggu lalu, kami berdelapan, lengkap di rumah. Saya sempat jenuh dan mungkin tidak nyaman, ingin sekali kembali ke perantauan. Ada banyak faktor tentunya. Tapi saya sadar, di antara semua rasionalisasi logi

separo

Pria hampir setengah abad itu, mengelus lembut kepala perempuan yang mengeluh rambutnya tak lagi gelap. Terucap tenang darinya "kamu cantik dengan anggun dan enam anak kita". Keduanya beradu pandang dengan senyum yang enggan luntur barang sedetik saat kedipan menjeda tatap mereka. Katanya, cinta adalah kata kerja. Melakukannya adalah penuh kesadaran, menumbuhkannya adalah dengan pupuk kasih sayang. Keduanya hangat. Guratan senja terukir sebanyak mereka jatuh cinta. Pemeran pendukung yang bersaksi bahwa dunia adalah lautan arak yang melinglungkan. Kesadaran hanya seumur pikir "kita makan apa esok hari?" dan "hujan, baju di jemuran kebasahan lagi". Perempuan itu adalah pangeran yang tahtanya tak mungkin terganti hingga beribu-ribu keturunan. Ia, seumpama abadi.

untuk Tiga

Tulisan kali ini, akan saya buka dengan kutipan ter- hits bagi mahasiswa di jurusan saya bahwa 70% kehidupan manusia dalam kesehariannya adalah untuk berkomunikasi. Sebagaimana biasanya saya hanya menulis singkat saja, barangkali hari ini akan sedikit lebih singkat. Saya hanya ingin berbagi, tentang saya tentunya, tidak yang saya lebih kenal selain diri saya sendiri. Bahkan, ketika diminta mendeskripsikan tentang keluarga, teman, maupun kenalan, pasti saya akan sangat kesulitan. Saya, tumbuh menjadi terlalu memerdulikan diri sendiri, sebelum beberapa waktu ke belakang ini. Dulu waktu tingkat pertama di Bogor, saya pernah bilang kepada kedua teman saya, mereka dengan senang hati mengantarkan saya ke Asrama Putri karena saya tidak membawa payung. Saya tegaskan bahwa jangan kaget, jika suatu hari, hubungan baik kami merenggang dengan tiba-tiba, bisa saja saya tiba-tiba akan berhenti menyukai kalian sebagai teman. Saya agak lupa sebenarnya, semoga isi maknanya masih sama… Dan mereka k

Adik dan Pantai Pertama

Tahun 2003 lalu adalah peringatan hari lahir pertama yang saya ingat. Saat itu, kami masih tinggal bersama orang tua Ibuk, dan tepat lima hari sebelum saya merayakan tahun ketiga di dunia, saya telah merayakan diri menjadi seorang kakak, untuk pertama kalinya. Kamu tahu? Itu rasanya sangat menyenangkan, bau bayi dimana-mana, saya bisa berbicara dengan selain orang dewasa, saya pun bisa menceritakan banyak hal tanpa ada yang mengeluh saya terlalu banyak tanya dan bicara. Baju masa kecil yang paling saya ingat adalah atasan denim dan rok denim mini yang lengkap dengan rawis-rawis warna merah. Saya masih mengenakan anting-anting tentunya dan saya sangat senang ketika rambut saya dikuncir warna-warni oleh Ibuk. Bapak, dulu hanya punya satu sepeda, dan itu yang membuat kami bisa bahagia, bahkan dibandingkan sekarang, saya tentu sangat lebih bahagia menjadi Mufida kecil yang hanya tahu sedikit hal saja. Ah iya, dalam peringatan kelahiran saya yang ketiga itu, kalau saya tidak salah ingat a

Menghampiri 'Anggur' Lagi

Pagi tadi, saya dengan berat hati mengerjakan beberapa tugas yang memang sudah lama saya abaikan. Sebagai kewajiban, tentu itu adalah kepuasan tersendiri hingga saya dapat menyelesaikannya dan mengabaikan rasa enggan yang sudah sangat lama menggelayuti diri saya. Sejak dunia ini sudah tak sama lagi, saya seakan membiarkan diri saya untuk turut dan larut. Sejak umur saya tak lagi diawali angka satu, saya justru kehilangan masa depan yang selama ini tepat beberapa centimeter di hadapan. Pertama kali saya meneguk lagi anggur kewarasan adalah saat pertama kali setelah sekian lama saya meninggalkan ruang-ruang diskusi. Ibarat kata, saya sudah lama terkatung-katung di jalanan dengan terik luar biasa yang tanpa bekal barang sedikitpun. Ruang belajar dan berbagi perspektif tersebut ialah tetes hujan pertama kali yang mengenai wajah saya dan kembali membuat saya mendongak pada wajah alam. Bahwa saya, sudah terlalu lama meninggalkan pijakan. Sudah sejak sangat lama pula, saya sisihkan ingata