Tepian Jurang
Berdiri di tepian jurang adalah satu hal dengan dua hal. Maksudku adalah bahwa itu menjadikan kita dapat berteriak sekeras dan sampai selega mungkin, lalu setelahnya menikmati bentangan alam yang Tuhan telah dan terus ciptakan, juga bahwa itu adalah percobaan mengakhiri perjuangan di dunia yang terlalu sulit untuk dimengerti akal manusia. Sudah lebih dari satu tahun aku berdiri di sini dan tidak pernah kemana-mana. Aku bergerak, tapi hanya bergeser dari satu posisi ke posisi lainnya yang... sama-sama sekarat. Aku lelah hingga akhirnya aku memilih duduk, dan sialnya, tebing bergetar dan segera longsor.
Pernahkah kau? menemukan jawaban acak di kepala dan sesaat hendak kau tuliskan ia di lembar jawaban, mereka kemudian menjelma huruf acak berterbangan di udara seperti debu.
Kita semua sering menjadi bahagia, membahagiakan, dan dibahagiakan. Lalu kita juga tidak pernah tanpa tergores, perih, berdarah, lebam, jatuh, tersungkur, sesak, tercekat, meledak, dan berapi-api. Kita selalu melalui masa penuh penolakan, ketakutan, kecewa, dan berteriak mencari pertolongan kalau bisa, tapi lebih sering, menjerit dalam hati sampai udara di rongga-rongga tubuh kita menyusut sempurna dengan kedua tangan bahkan membekap penuh mulut dan hidung kita, tangan kita sendiri.
Bertahun mengarungi kehidupan yang entah, masihkah ingat bagaimana cara untuk selamat dan kembali dari medan pertempuran dengan hati lapang?
Jika aku hendak menambah ibarat, terjebak di antara ada dan tiada adalah ibaratnya. Bukan seperti karya yang berupa syair, melodi, dan utuh. Antara ada dan tiada yang aku tunjuk sebagai ibarat ialah bahwa aku tidak dapat menjelaskan mengenai jiwaku juga posisiku sebagai pejuang. Aku adalah ada. Ini adalah satu fakta yang bisa dibuktikan melalui entitas lainnya sekaligus iman jiwaku sendiri. Aku adalah tiada, pun dengan alasan yang sama, dengan imbuhan, bahwa aku menjalani hidup dengan serampangan, pedangku telah patah, dan aku tidak ingin menyelesaikan pertarungan. Hilang. Kehilangan di tengah pertempuran. Menghilang dengan mengetahuinya.
Satu-satunya yang ku pikir mampu menghidupkanku lagi dan mendorongku jauh ke ujung sumbu ‘aku adalah ada’ hanyalah prajurit lainnya yang dengan tangannya ia mampu menopangku bangkit, menyeretku belari, hingga kemudian kembali ke tengah kekacauan dan melawan dengan pedang yang telah patah itu. Bersama-sama.
Imbuhan masalahnya, ia barangkali hanya potensi. Dengan kata lain, hanya, mungkin ada.
Kau, bagaimana kau menilai ini? Adakah aku harus menambah beban dengan menemukan prajurit yang hanya mungkin ada itu? Batinku sedang berdebat keras. Aku punya dua kaki, bahkan dengan dua tangan jika jika harus merangkak. Perut pun aku ada, jika memang seperti bayi enam bulan caraku harus bergerak. Tapi batinku tahu. Aku enggan. Sebab jauh palung jiwaku mengimani sesuatu untuk bergantung. Dan mengimani cinta.
Berdiri di tepian jurang adalah memiliki pandang seluas jagad. Lalu kehilangan fokus sebab serakah hendak memandangi segalanya. Itu adalah hal lain lagi yang membuat gentar. Kemudian setelah tak kemana-mana, aku melangkah gontai dan terduga, aku menemukan ruang, kosong, dan mendukungku mengenai ‘aku adalah ada’ sekaligus ‘aku adalah tiada.’ Fakta bahwa aku menemukan ruang merupakan bukti bahwa ia ada. Fakta bahwa aku tidak melihat sesuatu apapun di dalamnya? Ya, tiada, tidak ada, tidak menemukan apa-apa.
Satu-satunya yang ingin aku lakukan adalah masuk ke dalamnya, lalu menangis. Bagaimanapun, apapun yang terjadi, tolong, biarkan aku menangis, sampai luruh seluruhnya, bantu aku menangis, bahkan tanpa bahu atau pelukan yang dapat menghadirkan teman, tolong, buatlah aku menangis, sampai habis segala sesak dan cekatan, sampai longgar ruang di dada, sampai tertidur, dan dengan penuh cinta, mampu kulangitkan:
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan aku bangun selepas hilangnya hidupku, dan bersamaNya lah aku akan berjuang.”
sehat-sehat ya
BalasHapus