Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Semoga

Selamat malam, selamat membaca cerita ku lagi. Aku yang sering berbunga-bunga, kemudian mati rasa, lalu galau segalau-galaunya, dan sekarang? Aku tak tau ini jenis yang seperti apa. Aku kembali, Ke terminal yang sama untuk kesekian kali. Malam ini, Ibuk dan Bapak tidak membersamai, untungnya aku punya teknologi. Teknologi terbaik yang Tuhan pernah anugerahkan. Teknologi pertemanan. Biasanya, setiap ku naiki tangga bis ini, Langkah pertama, aku merasa suatu ketidakrelaan. Kedua kalinya, degup ku makin tak beraturan, Ku tolehkan kepala ke belakang, lalu wajah ku, ku arahkan ke atas. Jaga-jaga, agar air yang sudah terkumpul tak jatuh begitu saja. Ku kedipkan mata beberapa kali. Langkah terakhir, aku sampai ke dalam bis. Ku susuri lorongnya, ku letakkan barang-barang ku. Ku arahkan pandangan ku ke jendela, dua tangan melambai, wajahnya berseri menyuntikkan semangat agar aku tak gentar untuk pergi. "Nduk, belajar rajin-rajin, banyaklah bermanfaat buat orang lain, sholat

Tanpa judul

Pukul tiga dini hari. Tepat waktu untuk kembali. Beberapa meter lagi untuk sampai di tempat berhenti. Ku ambil barang-barang ku, ku ajak serta karib ku. "Pak, setelah tikungan itu berhenti ya. Kami mau turun di situ." "Oh iya nak." Bis berhenti tepat di tempat yang kami maksud. Pintu terbuka otomatis, dan ternyata saat itu gerimis. "Kami turun ya pak, terima kasih." "Sama-sama nak, hati-hati ya." "Iya pak." Jawab kami serentak. Ku amati sekitar. Jalanan Pantura yang sangat lengang. Gerimis makin deras. Aku dan karib ku masih menanti jemputan. Tak ada pembicaraan yang berarti. Dan antar kami, lebih banyak diselingi sepi. Karib ku membuka pembicaraan, Dia terus berbicara apa saja, Aku bosan. Suaranya perlahan samar. Gerimis berhenti, terik mentari terasa menyengat sekali. Banyak kendaraan berlalu lalang, truk-truk besar mendominasi. Ternyata, aku sendiri. Sedang menyeruput secangkir kopi, tepat di pinggir rel keret

Potongan

Masihkah ingat? Es lilin yang kita beli bersama di depan rumah tua. Penjual yang berhenti tepat di bawah pohon mangga. Aku beli sepotong yang rasa cokelat. Kamu pilih yang rasa strawberry, kata mu "Strawberry itu enak, ada asem-asem nya gitu. Kayak kamu si, tapi aku suka." Aku merajuk. Lalu, kamu ingat kah? Saat pelajaran matematika dan guru menyuruh menggambar tiga buah segitiga. Sisi yang ku buat tak lurus. Hehe, aku tak menggunakan penggaris. Tiba-tiba kamu sodorkan penggaris kecil. Hasil mu membagi dua penggaris tipis 30 centimeter. Terima kasih dan senyum kikuk yang bisa ku lontarkan untuk mu. Akhir masa SMA dan mungkin terakhir sebelum perpisahan kita. Masuk ke dalam kotak foto bersama. Pasang wajah paling konyol yang kita punya. Tertawa sekeras yang kita bisa. Kamu mengejek ku, aku balas mengejek mu. Cetak foto yang aku terima, hanya setengah. Marahlah aku. Kamu bilang, "Udah si biasa aja, di potong dulu, berpisah dulu." Masih tak hab

Dua kali

Dua kali kehujanan, dua kali kedinginan, dua kali kebasahan, dua kali teriris kenangan. Niat ku kelayapan, bersenang-senang dengan kawan-kawan. Hujan. Ternyata Tuhan ingin mengeratkan hubungan kekeluargaan ku. Adik dan kakak yang kerap berseteru. Beda umur, beda jenis kelamin, beda pandangan, beda pilihan, beda banyak hal. Satu Bapak, satu Ibuk, satu bulan lahir, satu SMA, satu rumah, aktif juga di banyak hal. Aku anak baik-baik di rumah, dan banyak tingkah di sekolah. Sepertinya, dia kebalikannya. Aku sangat gatal-gatal dengan istilah pacaran. Dia pun sepertinya kebalikannya. Dia suka eksakta, aku? Jangan kau tanya. Dua orang guru yang kami punya, berpesan lembut dan penuh cinta. Bercerita kesehariannya, “Percayalah dia tak seburuk itu, dia bahkan telah banyak berubah. Hatinya bukan batu, bahkan lebih rapuh dari punya mu.” “Ah, benarkah? Apa aku yang seburuk itu? Gagal memahami dan sibuk menghakimi. Aku ingin meminta maaf, tapi?” “Mengapa? Oh, iya,

SORE

Terminal sore itu sama dengan terminal pada sore-sore biasanya. Ramai, becek, kotor. Empat orang gadis menenteng tasnya masing-masing, perlahan menaiki tangga dengan wajah sumringah. “Mbak, beli tiketnya empat.” Sembari menunggu keberangkatan bis, jadilah mereka mencari makan malam. Dihampirinya kios di tengah-tengah bangunan itu. Tiga porsi nasi dan satu mi rebus. Keempatnya disambut baik sang Ibu pedagang, juga tiga orang laki-laki paruh baya. Obrolan berjalan seperti biasanya, dimulai dengan basa-basi darimana dan mau kemana. Televisi sore itu menyiarkan berita petang. Kisruh tentang pelanggaran dalam pilpres. Ketiga laki-laki paruh baya itu, mulai membicarakan kedua calon presiden. Bertanyalah salah satunya kepada keempat gadis itu. Keempatnya  hanya menanggapi seadanya dan memamerkan gigi. Katanya, mahasiswa jangan terlalu mencolok dalam urusan seperti itu, apalagi sampai terlihat kampus yang condong pada satu paslon. “Bagusnya ya kampus itu netral, apalagi mahasisw

Aku pulang

Tepat 18 hari, terbentang antara bulan Desember dan Januari. 18 hari dari saat ku putuskan untuk kembali. Bimbang yang merengkuh ku hilang setelah beberapa hari. Rembulan malam itu bilang bahwa kepulangan ku sangat-sangat dinantikan. Angin turut menyampaikan   bahwa   Bapak dan Ibuk ingin aku pulang meski kalian tak pernah bilang. Bintang yang mulai redup berbisik pelan bahwa waktu jangan pernah disia-siakan, waktu tak bisa diulang. Semesta meyakinkan. Gembira ku katakan, aku pulang. Ku bawakan oleh-oleh dari perantauan. Cerita tentang anak mu yang mulai dipusingkan perasaan. Laporan anak mu tentang ujian yang telah selesai dilaksanakan. Tak lupa kerinduan yang subur meski baru berpisah tiga mingguan. Buk, sepertinya benar kata orang-orang bahwa jarak akan mendewasakan. Pak, benar kata Bapak bahwa banyak yang mahasiswa harus perjuangkan. Meski begitu, aku tetap anak yang selalu ingin dimanjakan. Aku yang 18 tahun lalu berk

Opini rasa

Untuk pertama kalinya, aku merasa berguna di tempat yang tak seharusnya. - - - Aku kadang suka bingung dengan mereka yang menganggap ku punya banyak pengalaman dan teman. Karena pada nyatanya, aku hanya seorang follower, aku juga agak sedikit mungkin apatis di lingkungan kelas (kuliah). Kuliah biasa saja, prestasi hampir tidak ada, teman dekat seadanya, dan untungnya ada organisasi yang mau menerima. *itupun karena aku dilempar, paham? Mengenai organisasi mahasiswa (yekan udah mahasiswa, pengen si bahas PKK tapi... yekali aja) hal yang paling menyebalkan adalah saat seleksi, khususnya pas wawancara. Itu yak sumpah, di tempat aku kuliah, mau jenis organisasi apa, komunitas apa, kepanitiaan apa pun ya sistemnya seperti itu-itu saja. Nah, wawancara menjadi paling menyebalkan karena saat sesi wawancara, pewawancara selalu akan dan tidak akan pernah tidak menanyakan tentang diri kita, komitmen kita, dan alasan kita yang sejatinya itu bahkan sudah kita jelaskan di formulir pendaftaran

Hubungan

Sore itu ku habiskan waktu untuk bertukar kabar dengan karib ku. Bagaimana kabarnya, keluarganya, kuliahnya, kami yang sama-sama tak dapat undangan, juga tentang dia yang sedang singgah di hatinya. Aku penasaran, apa dia siap untuk sakit? Aku rasa, singgah itu hanya sebuah kata yang lebih halus dari coba-coba, eh atau maksudnya "Aku numpang sebentar." HAHA Panjang obrolan kami hingga berlanjut malam harinya. Entah kenapa, aku kepikiran untuk membicaran hal yang tak jauh-jauh dari materi perkuliahan. Mungkin aku bingung mau membicarakan apa lagi. Jadilah aku bilang kepadanya, "Hei, sepertinya aku tau kenapa kalau aku suka orang, aku juga suka semua tentangnya, bahkan kebiasaannya akan aku lakukan :'v. Kalau ga salah si ada teorinya. Dia antusias menjawab, "Nahhh, pasti mencoba menyamakan semua apa yg dilakukan. Biar apa? Biar ngerasa kalo kita ini jodoh. Hahaha." "HAHA, iya ih. Pokoknya, kalau kita suka sama orang kan kita bakal cari tau t