Dua kali


Dua kali kehujanan, dua kali kedinginan, dua kali kebasahan, dua kali teriris kenangan.
Niat ku kelayapan, bersenang-senang dengan kawan-kawan.
Hujan.
Ternyata Tuhan ingin mengeratkan hubungan kekeluargaan ku.
Adik dan kakak yang kerap berseteru.
Beda umur, beda jenis kelamin, beda pandangan, beda pilihan, beda banyak hal.
Satu Bapak, satu Ibuk, satu bulan lahir, satu SMA, satu rumah, aktif juga di banyak hal.
Aku anak baik-baik di rumah, dan banyak tingkah di sekolah.
Sepertinya, dia kebalikannya.
Aku sangat gatal-gatal dengan istilah pacaran.
Dia pun sepertinya kebalikannya.
Dia suka eksakta, aku? Jangan kau tanya.
Dua orang guru yang kami punya, berpesan lembut dan penuh cinta.
Bercerita kesehariannya,
“Percayalah dia tak seburuk itu, dia bahkan telah banyak berubah. Hatinya bukan batu, bahkan lebih rapuh dari punya mu.”
“Ah, benarkah? Apa aku yang seburuk itu? Gagal memahami dan sibuk menghakimi. Aku ingin meminta maaf, tapi?”
“Mengapa? Oh, iya, kamu terlalu tinggi. Tak mungkin kamu….”
“Bukan, bukan. Heh, aku hanya tak mau mengucapkannya, pasti sangat canggung. Bagaimana dengan aku yang lemah lembut padanya? Memandang anyak hal dari sudaut pandangnya?”
“Itu terserah mu, aku yakin kamu akan lebih baik kali ini. Bahkan dia selalu membanggakan mu. Kamu tau itu? Dia mengidolakanmu.”
Aku menekuk kepala dalam-dalam, mengatur napas sebisa ku, menahan senggukan ku.
Lepas,
Ya, air mata membasahi pipi kanan dan kiri ku.
“Aku, butuh pelukan. Ku mohon.”
Dia memang agak batu, sama seperti ku.
Tapi ku ulangi, kita tak sama.
Ingin rasanya aku kembali ke masa lalu.
Saat kami bermain bersama.
Berlarian dengan bahagia.
Menjadi putra putri kesayangan orang tua.
Ingin ku ulang semua dari awal, sebab,
Ternyata aku kakak yang seburuk itu.
“Lagi-lagi, sepertinya ini semua karena ku.”
“Apa yang kamu katakan? Kamu salah.”
“Aku contoh yang buruk, dia tak salah, hanya mencontoh, dan aku? Si pemberi contoh. Maaf, maafkan aku.”
Suara ku bergetar lagi, aku tak tau mengapa seperti ini.
“Dua kali, ku nilai dia dengan nilai yang melekat dalam diri ku. Aku salah. Ya, aku salah.”
“Sudah, yang penting sekarang kamu tau apa yang harus kamu lakukan. Menjadi orang baik, menjadi hamba yang baik, menjadi kakak yang baik, ya, baik. Ingat itu, baik.”
“Ya, aku harus segera. Memulainya dari diri ku sendiri. Dari tutur dan laku ku, dari ibadah ku, dari pandangan ku ke dia. Aku, aku telah sangat buruk. Bahkan pandangan ku tak pernah meneduhkan, bagaimana aku begitu egois memintanya memandang ku dengan teduh dan lembut.”
“Ya, sudah, sudah, jangan kamu teruskan. Ucapkan itu pada diri mu sendiri. Aku rasa, aku hanya cukup untuk tau sejauh ini. Atur napas mu, siap kan senyum mu. Dia segera menghampiri mu, sejak tadi dia menunggu mu.”
Ku langkahkan kaki selaras dengan degup yang amat keras ini.
Senyum, senyum, senyum, senyum, senyum, senyum, senyum.
Berulang ku ucap dalam hati.
Aku berhasil,
“Semoga ini awalan baik.”
Aku luluh,
Dia bahkan siap pasang badan untuk siapa pun yang menyakiti ku.
Siap basah kuyup, membonceng ku ditengah hujan badai sore itu.
Dengan cara dan gayanya, dia jelas sangat menghormati ku.
Mengajak ku bergegas kala ada perih mulai terasa oleh ku.
Ah dia lebih peka memang, pemikirannya bahkan lebih dewasa dari ku.
Senyum ku lebih lebar dari biasanya.
“Memahami manusia memang sesusah itu ya.”

Kakak yang lambat menyadari besar kasih sayangnya setelah dia beranjak remaja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)