SORE

Terminal sore itu sama dengan terminal pada sore-sore biasanya.
Ramai, becek, kotor.
Empat orang gadis menenteng tasnya masing-masing, perlahan menaiki tangga dengan wajah sumringah.
“Mbak, beli tiketnya empat.”
Sembari menunggu keberangkatan bis, jadilah mereka mencari makan malam.
Dihampirinya kios di tengah-tengah bangunan itu.
Tiga porsi nasi dan satu mi rebus.
Keempatnya disambut baik sang Ibu pedagang, juga tiga orang laki-laki paruh baya.
Obrolan berjalan seperti biasanya, dimulai dengan basa-basi darimana dan mau kemana.
Televisi sore itu menyiarkan berita petang.
Kisruh tentang pelanggaran dalam pilpres.
Ketiga laki-laki paruh baya itu, mulai membicarakan kedua calon presiden.
Bertanyalah salah satunya kepada keempat gadis itu.
Keempatnya  hanya menanggapi seadanya dan memamerkan gigi.
Katanya, mahasiswa jangan terlalu mencolok dalam urusan seperti itu, apalagi sampai terlihat kampus yang condong pada satu paslon.
“Bagusnya ya kampus itu netral, apalagi mahasiswa kan nanti ya tetep harus mengkritik pemerintahan juga, kalo udah sayang banget sama satu paslon, paslonnya terpilih? Yakin bakal tetep mengritik?”
Dua dari gadis itu tiba-tiba memamerkan wajah kesan dan takut.
Ah rupanya karena kucing yang mengganggu mereka makan.
Kejadian yang berulang kali.
Obrolan berlanjut mengenai kampus dan kondisinya.
Pun seperti biasanya, tiga laki-laki paruh baya itu menyampaikan petuah-petuah atas hidup yang telah mereka jalani lebih dulu.
Diketahui salah satunya berasal dari tanah Sumba, daerah yang tak semua gadis itu ketahui letaknya.
Dia, mulai membicarakan tentang laki-laki yang sejatinya tidak akan menyakiti kita bila benar ia menyayangi kita.
Dia, menceritakan bagaimana pertemuannya dengan sang istri yang orang sunda.
Dua orang gadis yang ada, meninggalkan meja perbincangan.
Memilih menikmati senja dengan beberapa kali memotretnya.
Tiba-tiba laki-laki paruh baya tadi membicarakan tentang dua gadis sisanya, dua gadis yang masih betah di meja perbincangan.
Dibanding membicarakan tentang mereka, sebenarnya lebih tepat jika dia menebak kepribadian keduanya.
“Kalau dia mah orangnya baik ya, tapi keras.”
Sang gadis yang dimaksud hanya tersenyum, mungkin sedang berusaha menghormati dan menanggapi.
Gadis disebelahnya menyahut,
“Bener banget Pak, kok Bapak bisa tahu si?”
Sambil tersenyum lebar, dia menjawab
“Bapak juga tahu, kamu itu orang yang gampang jatuh cinta.”
Kedua gadis itu sontak tertawa bersama, tak habis kira pernyataannya benar.
“Wah, bener banget tuh Pak, dia memang gitu. Hahaha….”
Tak ada perbincangan lebih, keempat gadis itu menyusul dua orang laki-laki paruh baya yang lebih dulu ke mushola.
Adzan maghrib berkumandang, bis sebentar lagi diberangkatkan.
Gadis yang gampang jatuh cinta itu, terus memikirkan ucapan tentangnya.
“Benarkah? Aku?”
Entah hatinya yang terlalu mudah disentuh atau hatinya hanya bisa merasakan jatuh cinta,
Aku yakin, dia lupa menderita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)