Tanpa judul

Pukul tiga dini hari.
Tepat waktu untuk kembali.
Beberapa meter lagi untuk sampai di tempat berhenti.
Ku ambil barang-barang ku, ku ajak serta karib ku.
"Pak, setelah tikungan itu berhenti ya. Kami mau turun di situ."
"Oh iya nak."
Bis berhenti tepat di tempat yang kami maksud.
Pintu terbuka otomatis, dan ternyata saat itu gerimis.
"Kami turun ya pak, terima kasih."
"Sama-sama nak, hati-hati ya."
"Iya pak." Jawab kami serentak.
Ku amati sekitar.
Jalanan Pantura yang sangat lengang.
Gerimis makin deras.
Aku dan karib ku masih menanti jemputan.
Tak ada pembicaraan yang berarti.
Dan antar kami, lebih banyak diselingi sepi.
Karib ku membuka pembicaraan,
Dia terus berbicara apa saja,
Aku bosan.
Suaranya perlahan samar.
Gerimis berhenti, terik mentari terasa menyengat sekali.
Banyak kendaraan berlalu lalang, truk-truk besar mendominasi.
Ternyata, aku sendiri.
Sedang menyeruput secangkir kopi, tepat di pinggir rel kereta.
Sebuah angkringan yang jarang dikunjungi.
Sekarang saja, hanya ada aku, bapak penjual, dan dua tukang ojek pangkalan.
Kami saling berbicara, tentang driver ojek online yang baru saja kehilangan ponsel pintarnya.
Mas-mas yang menghampiri bapak penjual dengan raut tak percaya.
"Padahal kan ya saya itu jujur. Kalo ada hape yang tak temu, orangnya nyari, ya tak kasihin lagi," kata bapak penjual dengan agak kesal.
Pria berjaket kulit tebal itu pun menyahut,
"Lah, pak-pak yaudah to ndak usah dipikiri. La wong nyatanya lagi kelangan."
"Ya iya si mas. Eh mas, airnya mau ditambah?"
"Pak, saya aja ini, tambahin es batunya. Puanas tenan lo siang ini," tanggap pria berpeci putih.
"Ah, sip mas."
"Nduk, nungguin siapa to?" Pria berpeci itu beralih pada ku.
"Oh, ndak nunggu siapa-siapa pak, sengaja, pingin ikutan ngopi," saut ku sembari tersenyum.
Pria berjaket itu menyulut sebatang rokok, katanya, "Oalah, baru sekarang ini loh ya pak, saya liat tempat bapak didatengi sinduk-sinduk."
"Hahaha, yaiya, makanya bingung. Kok tumben gitu," balas bapak penjual.
"Oh, gitu ya pak?"
Aku jadi merasa salah pilih tempat.
"Iya lo. La kamu itu mahasiswa mau magang apa gimana nduk?" Imbuhnya sembari memberikan gelas milik pria berpeci.
"Eh, ndak pak, saya malah mahasiswa baru. Baru kemarin pulang, sekalian buat promosiin kampus e pak. Hehe."
"Oh gitu to," jawab ketiganya.
Mereka membicarakan sesuatu, yang samar-samar ku dengar, aku fokus ke arah jalan, telinga ku fokus akan suara jalanan, ku lihat seorang anak laki-laki membawa seikat sapu di pundaknya, ia telanjang kaki.
Dari gelagatnya, jelas ia sedang bertanya tentang jalan yang harus dilaluinya.
"Kamu sering-sering aja mampir sini kalo lagi pulang. Jarang lo bapak dapet pembeli mahasiswa, apalagi perempuan. La wong biasanya tukang ojek sama tukang becak," tiba-tiba bapak penjual itu mengajak ku berbicara lagi.
"Nggih pak, in syaa allah ntar tak mampir lagi kapan-kapan."
"Jadi mahasiswa itu ya nduk, jangan malah tinggi hati, sombong sama kita-kita yang ya seperti ini. Maunya yang mewah-mewah, jajan aja harus di cafe-cafe. La wong duit aja masih minta orang tua to."
"Hehe, iya pak."
"Apalagi, ya kan yang dibela mahasiswa itu rakyat-rakyat kecil, la kalo ndak pernah dongengan bareng itu ya pie. Kan ndak ada juntrungannya."
Aku jadi ingat pertama kali aku ikut rombongan massa mahasiswa untuk berdemonstrasi.
Selalu teriak "Hidup rakyat Indonesia!" Berulang kali.
Jujur, saat itu aku hanya sedang menikmati situasi, sangat penasaran dengan aksi.
"Muf, muf...."
Ah, benar juga, sebenarnya untuk apa mahasiswa demonstrasi. Teriak-teriak dan berorasi.
Satu tangan menepuk pundak ku.
Rupanya karib ku.
Gerimis makin deras, jemputannya sudah tiba.
Kakak pertamanya,
Kami berbincang sebentar, sampai teman ku menjemput ku.
"Nggak bawa jas hujan?"
"Nggak, udah ayo."
Aku berpisah dengan karib ku, berpamitan dengan kedua kakak adik itu.
Aku pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)