MIMPI SEORANG PEREMPUAN NDAK SEREMEH-TEMEH ITU
Tulisan
ini sudah tak pikir cukup lama, seperti biasa, hanya kalimat pendek yang
saya tulis di memo supaya ndak lupa pas mau nulis beneran. Memang sejak
“magang” banyak hal yang pingin saya bagikan melalui tulisan. Seorang laki-laki
yang sudah beristri dan punya empat orang anak memancing saya untuk
mengingat-ingat kembali mimpi yang saya kumpulkan dan kepingin diwujudkan.
Pertanyaan sederhana yang kurang lebih beliau sampaikan adalah tentang kegiatan
yang saja jalani ini nanti muaranya mau kemana, memangnya kamu kuliah mau jadi
apa, dan ya seterusnya. Awalnya saya
hanya ketawa, kaget juga tiba-tiba beliau bertanya demikian, karena biasanya
yang ditanya ya seputar bagaimana isi hati saya untuk orang spesial (mungkin).
Saking banyaknya mimpi yang ndak semuanya tak tulis, mulailah
saya sampaikan rentetan impian yang mengingatnya perlu banyak usaha. Mulai dari
yang terbesar sampai yang besar. Saya ndak akan bilang mimpi saya ada
yang kecil, semuanya besar, impian-impian bagus yang akan sulit mewujudkannya
tanpa usaha dan keseriusan, walau dianggap sederhana atau remeh-temeh
sama orang-orang. Bicara sambil mikir rupanya membuat banyak hening tercipta,
saya terus usaha ngeling semuanya, menjabarkan satu demi satu.
Entah sampai pada mimpi yang
keberapa, tiba-tiba dengan nada agak nggersah saya bilang kalau ternyata
sulit bagi seseorang untuk dihormati, dianggap penting oleh masyarakat
lingkungannya tinggal, padahal banyak niat dan usaha baik yang ingin terlimpah
disana demi memajukan komunitas sendiri. Entah karena ikatan pertanahairan atau
rasa tanah-ibu, komunitas sendiri adalah kata kuncinya. Lalu beliau
mengamini saya, menyampaikan bahwa ya memang itu adanya, orang asing selalu
lebih dihormati oleh pribumi, sambungnya. Istilah yang keluar dari mulut beliau
kalau ditebar di media jaman sekarang ini, bisa dipastikan bermasalah, tapi
mari coba kita pahami pakai hati. Pahami maknanya, bukan sekadar rangkaian kata
yang dilontarkannya. Saya agak malas menjabarkan lebih panjang, jadi ndak
papa kan kalau pembaca sekalian memaknai lebih lanjut sendiri?
Lebih dari sepekan dalam lingkungan
“magang” ini, saya merasa bisa membaca dan menangkap kekhawatiran beliau.
Kekhawatiran akan anak sulungnya, putri satu-satunya. Apakah putri satu-satunya
itu telah atau belum merangkai rentetan mimpi? Jalan yang mana, yang akan
membawa putrinya sampai pada mimpi-mimpi besarnya itu nanti? Yang sebenarnya
lebih banyak saya tangkap hal-hal tadi akibat nggersahnya beliau pada
jajaran elite yang seharusnya, semestinya menjadi wakil, tangan, juga pelayan rakyat tanah air tercinta ini.
Kejadian tadi itu mengundang kembali
memori lama saya. Saat itu entah topik pembicaraan keberapa yang menyampaikan
seorang teman pada topik masa depan. Bagaimana dia merancang impian terbesarnya
melalui banyak impian besar. Saya yang saat itu terbilang lugu, begitu
terpesona dan antusias, sempat terpikir bahwa miliknya adalah rencana yang
sempurna. Kami yang berkumpul disana itu, ditempat yang melimpah ruah bahagia
dan tak jarang basah air mata, terpancing untuk menceritakan mimpi kami
masing-masing. Perempuan pertama yang harusnya bercerita mimpinya adalah saya,
sampai satu kalimat yang sederhana membungkam saya dan sebagian lainnya,
perempuan dengan ribuan rangkai kata tentang mimpi besarnya.
Ah, kamu kan perempuan. Gampang,
nanti juga ikut suami, jadi ya nggak perlu sebegitunya.
Mak deg jeder,
petir saja kalah ngagetinnya.
Apakah mimpi perempuan seremeh-temeh
itu? Apakah tidak begitu sakti mandragunanya dia yang berani-beraninya
ngomong seperti itu kepada kami, yang bakal melahirkan dan mendidik
perempuan-perempuan, laki-laki laki-laki masa depan sehingga nantinya nyaris
sempurna sebagai makhluk Tuhan, sebagai penerus bangsa yang bakal mbangun
peradaban lagi beradab?
Tuhan saja memandang manusia,
semuanya sama, ndak ada urusan laki perempuan. Hukum negara pun
memandang sama setiap warga negaranya sama, ya mesti kadang tergantung ada
tidak uangnya, tapi kan uang loh ya, bukan jenis kelamin atau gendernya. Di
dunia ini juga ndak ada yang namanya hak asasi laki-laki, hak asasi
perempuan, ya satu, Hak Asasi Manusia, lagi-lagi, ya meskipun bahkan di negara
tercinta kita ini, banyak kasus pelanggaran yang ndak selesai (ndak
diurus). La terus, wasiat darimana sampai-sampai kalimat sakti tadi
dilontarkan?
Bicara tentang hak asasi manusia
saya jadi kepikiran tentang isu kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan,
otomatis saya kelingan pejuang mimpi akan kesetaraan untuk perempuan
atas pendidikan. Raden Ajeng Kartini misalnya, yang ia tak mau
dipenjarakan-memenjarakan pikirannya, berhasil dengan sekolah untuk
perempuannya. Malala Yousafzai, hampir terbunuh akibat tembakan Taliban setelah
kampanyenya tentang hak atas pendidikan perempuan. Perlawanan cemerlang atas
diskriminasipun ditunjukkan Roehana Koeddoes melalui tulisan-tulisan bertopik
perempuan pintar, cerdas, dan mandiri, melalui Sunting Melayu, surat kabar
perempuan pertama di Indonesia. Mimpi akan kesetaraan untuk perempuan atas
pendidikan tak hanya dimiliki satu dua perempuan saja, melainkan masih banyak
lagi diluaran sana.
Apakah mimpi perempuan seremeh-temeh
itu? Tak perlu dianggap serius, yang percuma diusahakan menyata, toh pada
akhirnya perempuan itu ya masak, macak, manak. Kalau dimaknai sepintas,
keremeh-temehan masak, macak, manak jelas nampaknya. Padahal
ketiganya adalah rangkaian panjang membangun sebuah keluarga dengan pola hidup
cukup rumit. Masak, memasak, tentunya bukan aktivitas remeh-temeh,
status gizi keluarga sangat bergantung pada apa yang dimasak oleh perempuan
yang memainkan peran sebagai ibu. Tak hanya mengenai gizi, rasa menjadi hal
yang tak kalah penting, sebab cita rasa inilah yang akan mempengaruhi pula
nafsu makan anggota keluarga, jika kita mau berpikir lebih, akan ketemu
bagaimana rumitnya perihal masak ini. Macak, berdandan, mungkin
terdengar menjadi hal ter-remeh. Tapi, mari sedikit lebih jauh kita
bahas bagaimana berdandan, yang mana artinya tak cukup pada arti memoles diri,
tapi bagaimana memoles suami, anak-anak, atau rumah. Perihal macak ini
tak pernah seremeh-temeh itu, tanpa kemampuan macak, bisa jadi
rumah keluarga itu akan selalu layaknya kapal pecah, tentu itu bukan hal yang
baik bukan? Terakhir, hal yang nampak remeh-temeh adalah manak,
beranak, memiliki anak. Menurut saya, ini adalah bagian terumitnya. Bagaimana
tidak? Mulai dari merencanakan kehamilan, kelahiran, bagaimana pola asuhnya,
dan lain sebagainya, tentu bukan hal remeh-temeh, dari sinilah generasi
baru akan terbentuk, hingga manak inilah menjadi kunci baik buruknya
tanah air tercinta kita ketika nanti ditangan mereka nantinya.
Apa bermimpi mampu mendidik
anak-anak mereka menjadi generasi yang unggul dan baik adalah hal remeh-temeh
yang tak payah dipikir panjang kali lebar sampai-sampai mantra sakti mandraguna
tadi dilontarkan dengan entengnya? Apakah mimpi perempuan seremeh-temeh
itu? Hingga mimpinya hanya tentang membangun keluarga yang tahan, bersama
suami dan anak. Apakah ragam dunia luar ada hanya untuk laki-laki? Hais!!!
Selalu keren
BalasHapusTerima kasih selalu support. HEHE
HapusIMMawatiku 😍
BalasHapus