Setengah Sebelah : Ternyata Sesak
Begitu tiba-tiba dan
tak terduga, lolos satu kalimat tanya yang sakral dari bibir Isah. Sekar yang
sedari tadi sibuk dengan gawainya mendadak nyengir dan tertawa lepas. Alih-alih
menjawab serius pertanyaan kawannya itu, Sekar terus tertawa dan menimpali Isah
dengan banyak pertanyaan. Mulai dari ada apa? Kamu sedang jatuh cinta? Sama siapa?
Kok bisa nggak cerita-cerita? Loh loh loh, Ikhwan yang mana? Padahal satu yang
sebenarnya dipikirkan Sekar, bukan jawaban atas pertanyaan Isah tentunya, tapi cara
menutupi patah hatinya akibat satu makhluk Tuhan yang membuatnya uring-uringan
saben hari, sampai-sampai semua tulisan dan puisinya ya tentang satu laki-laki
itu.
“Loh, jawab dulu Kar.
Kok ya malah aku dicecer pertanyaan ndak berbobotmu itu. Nanti juga
lama-lama ngobrol, aku cerita semuanya,” Isah rupanya benar-benar serius dengan
pertanyaannya. Sekar yang tak enak hati langsung melunakkan suaranya,
menjangkau Isah lebih dekat.
“Iya, iya Sah, maaf ya.
Pertanyaan seperti itu yang tiba-tiba kan sasaran empuk buat aku, tau
sendirilah gimana. Maaf ya? Yayaya?” Isah diam saja, sepertinya laki-laki yang
kali ini tak main-main mencuri hatinya.
“Yawes Sah, kalo masalah jatuh cinta apa enggak, aku juga enggak
tahu pasti. Ya gimana ya, cinta itu apa aku juga masih mencari-cari. Kecuali kalo
kamu ngomongnya lebih sederhana dikit. Tertarik atau suka atau punya
kecenderungan sama seseorang. Ya mungkin aku bisa ngasih jawaban ke kamu.”
Isah malah bingung
dengan jawaban Sekar, menurutnya istilah-istilah itu tak ada bedanya. Bahkan sebelum
ia bertanya pada Sekar, Isah sempat googling
tentang cinta dan jatuh cinta. Minimal ia cek arti kata itu di kamus online
yang ada. Kurang lebih cinta itu ya suka, ya sayang, tertarik, ingin, berharap,
dan rindu. Satu paket lengkap yang bisa seketika mengobrak-abrik mood harian juga perasaan. Isah juga
sempat membaca artikel, yang kurang lebih menyebutkan ciri-ciri jatuh cinta itu
ya diliputi deg-degan, pipi merah, senyum-senyum
sendiri seharian, merasa perutnya penuh dengan kupu-kupu, hingga banyaknya
bunga-bunga bermekaran.
“Yaudah, gini Kar. Pokoknya
intinya kamu suka sama orang, pinginnya ketemu tapi pas ketemu malah grogi,
tapi seneng banget, tapi malu, tapi pinginnya ngajak dia ngobrol terus.”
Sekar menarik bantal
dan memangkunya. Digunakan tangannya menyangga pipi tembem yang sejak dua bulan
terakhir ini makin gede saja. Isah
kelihatan tak sabar saat raut Sekar tampak serius.
“Kamu serius mau tahu
jawabanku?” Isah mengangguk semangat, Sekar menarik napas lalu dihembuskannya
pelan. Tatapannya pada Isah terasa dalam dan sendu.
“Sah, kamu tahu kenapa
aku sering membeli buku, menulis banyak kata disana, nggak pagi, nggak siang,
bahkan malam? Sampai-sampai aku nyetok
buku tebal dan membawanya kemana saja. Ya itu Sah, karena aku nggak tahu
sebenarnya aku kenapa dan gara-gara siapa. Yang jelas, semua tulisan ku
inspirasinya cuma satu, dan nggak pernah mikir bahkan melirik selain itu. ”
Isah merasa bersalah
mendengar jawaban Sekar, “Tapi Kar… aku ndak
bermaksud loh, maksud aku…” Isah bingung hendak menyelesaikan kalimatnya
seperti apa.
“Sah, kamu pernah
nggak, jatuh cinta sama Ibuk Bapak mu?” giliran Isah yang tertawanya lepas, “kamu
apa-apaan si Kar, ya kali aja gitu?”
“Padahal ya Kar, selain
cinta antara Rabb dan hambanya. Ada yang pernah bilang bahwa cinta orang tua
pada anaknya adalah wujud nyata kasih yang tak terhingga, ikhlas tanpa pamrih
dan nggak pernah minta dicintai balik.”
Rupanya Isah sudah
tidak menghiraukan Sekar, ia sibuk membereskan hadiah dari teman-temannya,
mengingat ia baru saja selesai seminar proposal penelitiannya. Lalu satu
panggilan masuk menderingkan gawai Isah.
“Halo… Assalamu’alaykum mah… mah, Alhamdulillah loh mah, tadi Isah lancar….”
Sekar pun melangkah
gontai kea rah meja belajarnya. Dia duduk dan menyeruput kopi instan yang sudah
dingin. Olehnya diambul buku yang biasa jadi teman perjalanannya, percakapan
barusan membuat banyak rangkaian kata muncul dikepalanya. Dibukanya lembar demi
lembar tulisan sejak purnama pertama, dalam pikirnya, “ternyata memang sulit ya
Za, aku masih nggak punya siapa-siapa selain kamu dikepala. Kamu tahu? Dadaku lagi-lagi
sesak kalau lagi ngebuka buku ini, tapi hatiku lega kalau aku menulis lagi.”
---
“Sepi kembali memelukku yang sendiri
menghadapi hujanan luka
luka yang kembali terbuka sejak setelah
aku memutuskan selesai
ah tidak, mungkin bukan ku putuskan
selesai,
tapi sebab kau yang dari mu tak ku
tangkap sinyal positif
yang membuat ku jatuh sendiri
bahagia dan terluka sendiri
pulih, dan kembali dengan siklus sialan
itu lagi
aku sudah cukup dengan kebodohan tak
ketulungan hanya karena satu makhluk Tuhan yang tak ku lihat cacat barang
sesenti”
Semesta
menuntun jemari untuk kembali menulis tentang mu. Entah angin apa yang membawa
ingatan tentang mu kembali dengan begitu segar. Namun ku pastikan bukan angin
yang menjatuhkan embun es di dataran dataran tinggi Indonesia belakangan ini.
Anginnya terlampau dingin, dan fenomena itu terlalu ekstrem. Kemudian pada tiap
kata yang merangkai kalimat tentang mu itu, kembali kurasakan sensasi pedih
seakan mengiris tipis hati, jatuh bercecer bagai lembaran kertas usang, yang
semestinya telah utuh sejak purnama bulan lalu. Aku mulai meracau, apakah aku
tak pernah benar-benara menyerah? Apakah motivasi-motivasi bagi lulusan sekolah
menengah atas yang membanjiri media sosial membawa mu menjadi satu dari sekian
asa yang belum ku gapai? Benar bukan? Aku mulai membicarakan hal yang tak masuk
akal. Untuk apa ku bawa anak anak sma ke dalam tulisan ku? Aku mulai berpikir,
mereka yang tertolak dan kembali berjuang lagi rupanya tak jauh beda dengan aku
yang gagal mencintai sendiri lalu mencoba menjadikan mu cinta sendiri ku lagi.
Dengan nilai-nilai raport mereka yang tak memuluskan jalan ke kampus impian,
dengan hari-hari berdua yang kita lewati bersama, puisi yang saling
balas-balasan, dengan gurau dan tawa bersama kita, dengan berbonceng saat hujan
sedang deras derasnya, senyum manis setiap paginya, membaca buku bersama, pun
saling bersandar dalam kursi penumpang yang bersebelahan, rupanya tak membuat
ku lulus menjadi pujaan hati mu. Aku rapuh. Lalu mereka kembali dengan percaya
penuh, dengan usaha lebih besar, ujian, mendapatkan poin sebesar-besarnya,
untuk lulus, menjadi mahasiswa di jurusan impian, lalu gagal. Tak jauh dengan
aku, yang kembali dengan percaya penuh, dengan hati yang tak benar-benar utuh,
menjadi bagian dari mu, kau yang sempat menanyai bagaimana kamu di mata ku,
masa bodoh kamu di hati ku, usaha ku tak lebih untuk membuatmu tak pernah
mengenal sendu, dan membuat mu jatuh cinta yang tanpa berbekas air mata. Hingga
aku remuk, hati ku tak berbentuk. Dan mereka memikirkan jalan yang mungkin
terakhir untuk membuat mereka dekat dengan impian, sedekat jari yang diletak
lima sentimeter depan kepala. Dan uang yang mungkin mampu menyata, membuat
nyata. Dengan puluhan juta, bahkan ratusan juta, dengan nilai luar biasa, atau
nilai seadanya namun jajaran disana adalah keluarganya. Layaknya pasar, yang
komersil, yang uang mungkin adalah segalanya. Lalu aku? Aku telah remuk dan
kini bisu. Otak ku beku memikirkan jalan terakhirku, jika mereka ada, harusnya
aku pun sama. Membuatmu dekat, hingga menatap mu, aku dengan lekat. Tapi?
Dengan uang? Hati yang mana yang remuk, lalu pulih dengan uang. Hati siapa,
yang datang dengan uang? Cinta yang mana, yang mendekat dengan puluhan atau
ratusan juta itu? Kelebihan ku yang mana? Saudara ku yang siapa? Keluarga ku
yang mana? Yang memasarkan hati, yang memasarkan cinta, yang memasarkan mu.
Barangkali ada yang sehina itu? Bukan aku. Bukan aku. Akan lebih baik ku lalui
dua belas purnama dengan meramu puisi yang tanpa mu, aku menjadi aku, yang tak
lagi gila dan meracau seenaknya.
Keren parah
BalasHapus