Selamat datang di negeri agraris yang petaninya miris
Menjelang Peringatan Hari Tani,
24 September 2019
Indonesia merupakan negara agraris yang terletak diantara dua benua dan dua samudera. Letaknya yang berada tepat di garis khatulistiwa membuat negara ini kaya akan sumberdaya.
Satu kalimat yang entah sejak kapan
menjadi andalan para penulis atau bahkan peneliti sebagai kalimat pembuka dalam
tulisan mereka. Seakan ingin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara agraris,
negara yang kaya sumberdaya alam, negara yang gemah ripah loh jinawe,
yang tongkat dan batu saja bisa jadi tanaman, yang harusnya tidak mengenal apa
itu kelaparan. Namun sayangnya, bagai berharap cinta saya kepadanya berbalas,
terbukti korelasinya, positif. Rupanya yang perlahan terbukti adalah adanya
kutukan sumberdaya alam. Kutukan sumberdaya ini mengacu pada paradoks bahwa
negara dan daerah yang melimpah sumberdaya alamnya, cenderung mengalami
pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan wujud pembangunan yang lebih buruk
daripada negara-negara yang sumberdaya alamnya langka atau terbatas. Kekayaan
alam yang mereka miliki justru membawa mereka pada kondisi yang penuh dengan
konflik dan masyarakatnya hidup di dalam garis kemiskinan. Fenomena ini, bisa
saya dan Anda bersama amati di negara tercinta, Indonesia. Sekitar 25,14 juta
penduduk kita, hidup di dalam garis kemiskinan, mereka kebanyakan merupakan
masyarakat pedesaan yang hidupnya bergantung pada pertanian dan mengabdikan
dirinya sebagai petani.
Indonesia, ibu pertiwi kita,
merupakan negara kepulauan besar yang terdiri oleh lebih dari tujuhbelas ribu
pulau dengan keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi hingga disebut-sebutlah
istilah "Mega biodiversity".
Tak hanya itu, Indonesia pun kaya akan minyak bumi, timah, gas alam, nikel,
kayu, batu bara, emas, dan perak. Dengan daratan yang luasnya 3:7 total wilayah
negara, pembagian lahan terbesar adalah hutan dan daerah berhutan, yaitu 62%,
disusul 10% pertanian, 7% perkebunan, 7% padang rumput, dan 14% lainnya. Luar
biasanya, dengan 62% hutan itu, Indonesia mendapat prestasi laju kerusakan
hutan paling tinggi di dunia. Di bidang pertanian yang 10% itu, jumlah luas
lahannya terus menyusut hingga menjadi 7,1 juta hektare (Kementerian ATR dan
BPS tahun 2018) pun jumlah petani kini tinggal 4 juta orang, menurut Muhammad
Diheim Biru, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
Nasib buruk yang menimpa petani pun
tercermin dari deretan konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya konflik
agraria. Bencana yang menimpa kaum tani secara luas, sebut saja yang terkenal,
ada kasus Kendeng misalnya. Dalam catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) tercatat sedikitnya telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dengan luasan
wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 KK di
berbagai provinsi di Indonesia. Dengan demikian, secara akumulatif sepanjang
empat tahun (2015 – 2018) pemerintahan Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 1.769
letusan konflik agraria. Pada tahun ini, perkebunan kembali menempati posisi
tertinggi sebagai sektor penyumbang konflik agraria dengan 144 (35%) letusan
konflik, sektor properti 137 (33%), sektor pertanian 53 (13%), pertambangan 29
(7%), sektor kehutanan 19 (5%) konflik, sektor infrastruktur 16 (4%) dan
terakhir sektor pesisir/kelautan dengan 12 (3%). Dari 144 ledakan konflik
agraria yang terjadi di sektor perkebunan sepanjang tahun ini, sebanyak 83
kasus atau 60 % -nya terjadi di perkebunan komoditas kelapa sawit.
Konflik-konflik tersebut tak jarang yang menimbulkan kerusakan hingga korban
jiwa. Entah secara alamiah terjadi atau akibat permainan untung rugi,
pertanyaan saya, siapakah yang kemudian dirugikan?
Hasil
penelitian Purwandari (2011) mengungkapkan bahwa kemiskinan timbul sebagai
akibat dari struktur sosial yang rumit dan menyebabkan masyarakat
termarjinalisasi serta sulit mendapatkan akses terhadap berbagai peluang.
Kondisi kemiskinan ini disebut kemiskinan struktural. Hasil penelitian
Kutanegara (2000) juga menyatakan pandangan lain terkait penyebab munculnya
kemiskinan adalah keterbatasan akses penduduk terhadap sumber daya.
Keterbatasan ini menjadikan masyarakat terisolasi dari informasi, kekuasaan,
kesempatan kerja, jejaring, dan bantuan sosial. Jalan keluar bagi permasalahan
kemiskinan rumah tangga petani dapat diselesaikan dengan redistribusi tanah,
penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan lahan atau
reforma agraria. Sebenarnya hal ini pun tentu tak asing bagi kita semua, tak
jarang isu reforma agraria menjadi “barang dagangan” para calon pemimpin bangsa
untuk meraih simpati masyarakat Indonesia. Hal ini berdasarkan naik turunnya
semangat reforma agraria di Indonesia, yang tampak panas diawal, lalu loyo dan
tersingkir dengan semangat pembangunan dan investasi. Layaknya dendam kesumat
yang mengendap lama, konflik agraria pun meletus dahsyat.
Terkait negeri agraris yang
petaninya miris ini, perlu digaris bawahi bahwa hampir semua penduduk miskin
merupakan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani. Jabatan yang
harusnya membawa mereka pada kesejahteraan hidup, mengingat petani merupakan
“dewa” kehidupan kita. Keseharian kita tak pernah luput dari peran para petani,
terlebih untuk kebutuhan pangan. Tanpa pangan? Habislah kita, habislah bangsa
Indonesia. Saya memang tidak bisa membawa pembaca sekalian merasakan kepedihan
hati para petani kita, untuk itu, rekomendasi saya, tak ada salahnya jika
pembaca sekalian mau menonton film-film yang dengan dalam mengangkat topik
betapa mirisnya hidup petani kita. Sebut saja Samin Vs Semen, Made In Siberut,
Mahuzes, dan lainnya atau yang paling ramai diperbincangkan, Sexy Killers.
Dalam sejarah perkembangan
masyarakat, berlangsung pembagian pekerjaan, dimana orang desa menggarap tanah
dan memelihara ternak serta menghasilkan pangan. Orang kota mengerjakan hal-
hal lain. Lantas pertanyaannya, “mengapa bencana kekurangan pangan, dan
kemiskinan hampir selalu terjadi di pedesaan tempat pangan dihasilkan?"
(Piere 1979) maka satu jawaban dari saya, tanpa koma, dan paten titiknya. Ya
tak lain karena tingginya angka ketimpangan Indonesia. Sebagai informasi, Gini
Ratio Indonesia bulan Maret 2019 adalah 0,384 (BPS). Oh iya, mungkin ini
terakhir, jika kondisi sulit ini terus terjadi dan petani lagi-lagi merugi,
maka layaknya saya yang menunggu dengan batasan waktu tak terhingga, dengan
berat hati berpindah ke lain hati adalah solusi. Masalahnya, jika petani
berduyun-duyun alih profesi, apakah kita semua tetap bertahan hidup dan tak
mati?
Komentar
Posting Komentar