Hadir Sekadar Hadir


sebelumnya, saya hanya ingin menyampaikan,
tulisan kali ini, semoga tak menyia-nyiakan waktu teman-teman yang digunakan untuk membacanya.


Pagi ini, saya bangun kesiangan, semangat yang tiga mingguan ini membara rasanya mulai redup dan entah kapan akan padam. Ada saat-saat dimana saya rasanya ingin memutuskan bahwa saya selesai saja. Tapi tentu itu bukan ide bagus, artinya saya lari, lari dari tanggungjawab. Istirahat adalah jalan terbaik, sayangnya tidak semua jenis mengistirahatkan diri itu baik. Tadi pagi, bisikan-bisikan buruk meramaikan telinga saya, Kasur memeluk saya lebih erat dari biasanya Padahal alarm sudah teriak-teriak. Dosen dan teman-teman saya mungkin sudah hampir sampai ruang kelas. Dengan terpaksa, saya mandi dan bergegas menuju kelas. benar saja, dosen sudah memulai perkuliahan, teman-teman saya sudah menuliskan beberapa kalimat di bukunya.
Ya, saya terlambat.
Lalu, kelas terasa sangat ramai, oleh bisikan-bisikan bahwa saya pun bisa istirahat di sini. Tak baik, memaksakan diri, kasihan sama mata yang menyipit ini. Tak ada bantal, tas pun jadi Tiga menit sebelum perkuliahan disudahi, saya bangun dan merutuki diri sendiri Kebanggaan atas tiga minggu ini sudah tak berarti lagi. Saya, menjadi mahasiswa yang hanya datang untuk presensi.
Sial memang.
Di perjalanan, entah kenapa saya berkeinginan menulis ini, Lalu saya teringat dengan semua tanggung jawab yang telah diambil Jika diingat-ingat, ternyata hadir yang sekadar itu, tak cuma saya lakukan di perkuliahan, tapi juga kadang menjadi wujud remeh tanggung jawab saya.
Bodoh.
Saya membahasakannya sebagai hadir sekadar hadir, sebagai pemenuhan tanggung jawab yang tak berjiwa. Semoga saja, bisikan-bisikan jahat seperti tadi tak terus-menerus saya turuti. Lalu saya ingat sahabat yang dari ceritanya, saya melihat dirinya dengan tanggung jawab besar, dan penuh sadar. Kemudian darinya, saya mulai belajar, bahwa impian bukan hanya milik diri saya, tapi juga orang-orang disekitar saya, utamanya orang tua.
Menjadi anak pertama memang bukan kemauan saya, tapi nyatanya Tuhan mempercayai saya. Untuk menjadi yang tertua, dan teladan bagi adik-adik saya. Pikir saya, artinya saya telah dipercaya bisa melakukannya, bisa menjadi sosok seorang anak dan kakak yang dibangakan serta menjadi percontohan.
itu prasangka saya, hehe...
Mandat berat rasanya.... semoga tidak ada yang terlampau saya kecewakan.
Well, sebenarnya kali ini saya ingin cerita bahwa kehadiran rasanya malah jadi sia sia.
Latar belakangnya, kuliah tadi itu
Ya, tak jarang -setor wajah- menjadi pilihan saat jenuh dan enggan, melilit tubuh dengan begitu mesra. Tak hanya di perkuliahan, menurut saya, di semua hal. Organisasi misalnya, kehadiran yang sekadar itu hanya membawakan pada kesia-siaan. Padahal minimal, kita bisa menyuntikkan semangat pada rekan lainnya, atau mengakrabkan diri dengan lingkungan. Hal-hal yang harusnya remeh, tapi dahsyat untuk hal-hal selanjutnya. imajinasi saya, terkadang ada orang-orang yang memang menantikan kehadiran kita, berharap kita bisa menjadi sesuatu yang lebih baginya. ekspektasi-ekspektasi luar biasa tentang diri kita, yang dengan bodohnya harus diganti dengan kekecewaan.
Padahal harusnya sadar, saat tanggung jawab sudah tidak dianggap berat, artinya diri kita telah dengan tidak sadar menjadi tidak bertanggung jawab, khianat.

Ya, semoga cukup saya.
Dan semoga hanya sampai pagi tadi, tidak berlanjut untuk yang lainnya.
Semoga, siapapun kalian, selalu diiringi semangat positif, tenaga yang tak habis-habis, dan senyum yang selalu manis.
Salam,
Penyesalan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)