Bagian Ana

Lepas Segala

 1
 
Langkahnya melambat sejak seratus meter sebelumnya, ia memilih lari sekencangnya. Ana terengah, sesekali tengadah wajahnya sembari dikipas tak beraturan.
“Tahan… tahan….”
Wajahnya merah padam, dan begitu ramai yang membicarakannya.
“An, dimana?”
“An lagi ngumpul sama temen Mas.”
“An, Mas masih nunggu kamu, di sini, sampai kamu datang.”
“Tapi Mas, maaf. An nggak bisa janji ketemu. Lain kali aja gimana? Nanti An ajak teman sekali.”
“An… Mas tetep nunggu ya, nggak papa kamu datang jam berapa aja. Mas nggak papa nunggu.”
“Tapi Mas… An nggak bisa.”
Darah Ana berdesir, keringatnya dingin, dan rautnya jelas menunjukkan bahwa dirinya tidak baik-baik saja.
“An… yuk pulangnya bareng Mba. Kamu masih kos di sana kan?”
“Enggg, eh, engga Mbak, makasih…. Nggak usah, An bisa sendiri kok.” Senyumnya kikuk dan matanya seakan sedang mencari sesuatu.
Satu pesan masuk, “An, masih lama? Mau mas pesenin dulu nggak?”
“Loh, An… belum balik? Mau bareng nggak?”
“Eh, iya… hgg nggak usah Mbak, nggak papa kok, duluan aja. Makasih ya….”
“Kamu mau kemana An? Kok kayak aneh gitu, nggak biasanya….”
“Ha? Oh, nggak… nggak kemana-mana kok Mbak.”
“Mbak, An duluan ya, mari….”
Hujan baru saja membasuh, jalanan begitu ramai dan tak teratur, belum lagi, genangan air dimana-mana.
“Mas, An udah jalan, sebentar lagi sampe.”
“Iya An, hati-hati ya. Mas nggak kemana-mana kok.”
Dunia berputar padanya, seluruh ramai jalanan menghukum diri Ana. Tiba-tiba. Ya, tiba-tiba semua berporos padanya, semua riuh, semua basah, semua kacau. Semua bicara mengiang di telinganya.
“An, Mbak anterin ya….”
“Eh, nggak usah Mbak, makasih lo. An pingin jalan aja.”
“An, masih lama?
“Yuk An, nebeng ngga?
“An, Mas di sini ya. Mau pesen dulu ngga? Mas pesenin.”
“Loh, An… belum balik? Mau bareng nggak?”
“Eh, iya… hgg nggak usah Mbak, nggak papa kok, duluan aja. Makasih ya….”
“Nggak… nggak kemana-mana kok Mbak.”
“Mbak, An duluan ya, mari….”
 “Kamu mau kemana An? Kok kayak aneh gitu, nggak biasanya….”
“Mas, An udah jalan, sebentar lagi sampe.”
“Mas, An udah jalan, sebentar lagi sampe.”
“Mas, An udah jalan, sebentar lagi sampe.”
Ana menghentikan jalannya. Napasnya ditarik kasar. Matanya berulang kali dikedip paksa. Ana, gontai melangkahkan lagi kakinya. Ana, memacu dirinya, cepat, cepat… semakin cepat. Dunia memburunya, seluruh pasang mata mengincarnya, jalannya kabur, ramai dan berantakan, semua memburu Ana, termasuk mobil yang hampir saja membuat nyawanya menghilang.


2

Semerbak kopi dan asap rokok bersetubuh dengan cerita manusia-manusia di ujung gang itu. Tenang, dengan penerangan selayaknya purnama, dengan hangat gurauan pengunjung yang ada.
Terengah Ana mendekati kedai kopi kecil tempat pelunasan janji. Satu tangan melambai padanya, tepat ke arah pintu baru saja di buka. Sosok laki-laki dengan arti tersediri di relung Ana. Tegas dengan kumis tipis dan topi kesukaannya. Cerdas dengan sistematis rasionalisasi atas segala kejadian dan analisis khas keilmuan.
Ana menarik kursi dan meletakkan tas di sebelahnya.
"Latte, satu, gulanya dikit aja."
Laki-laki di hadapnya masih diam saja, betah dengan senyum yang tak kunjung ia selesaikan.
"Mas, maaf An baru menemui mas sekarang, An kan udah bilang, kayaknya batal dulu aja. Mana anak-anak nggak ada yang bisa join. Tapi An udah janji, Mas juga, taunya udah di sini dari tadi. Kan An nggak enak. Terus Mas, asal Mas tau, jalanan riweh banget, mana abis ujan kan, becek naudzubillah, gelap lagi pas masuk gang sini."
Panjang bicaranya, tapi tak satu detik pun Ana sengaja menatap ke arahnya.
"Katanya An mau kopi, yaudah, makanya Mas ajak kesini aja, sekalian kan?"
'Perbincangan' panjang diciptanya. Dari satu topik ke topik yang lainnya. Dari satu tegukan ke tambah menu lainnya. Dari berhadapan menjadi sebelahan. Dari lantang bicaranya, hingga bisik suaranya. Dari setengah meter ke puluhan senti saja. Dari genggam tangan ketakutan menjelma erat langkah malaikat.
Tertaat,
yang dulu ada.
Penyatuan aroma, penyepakatan ada
Lalu lepas.
"Mas...."
Tak ada tanggapan selain omong kosong dan eratnya genggaman. Udara menyela keduanya, dilanjut panjang tentang gerakan dan utopia perjuangan.
"Mas, An...."
Hanya tatap tajam yang maknanya coba diabaikan.
Maka dengan satu tarikan napas gusar, Ana menghentikan seteru,
"An takut sama Mas!"
Satu alis terangkat, lanjut bicaranya, "Biasa ajalah, Mas bukan setan kok."
"Mas, An serius ya. An takut sama Mas."
"An...."
Bangkit Ana dari duduknya.
"An nitip bayar, An pamit. Assalamu'alaikum."
Ana tak main-main dengan ketakutannya, langkahnya menegaskan bahwa tidak ada lagi kompromi.
Sama sekali, tanpa melihat ke belakang, tanpa menghiraukan banyaknya pasang mata yang menatapnya, tanpa penyesalan. Dengan penuh perasaan gusar, lalu dua langkah lebar mengejarnya dengan ritme lebih cepat. Berusaha menyusul. Lari. Ya, lari. Secepatnya, secepat yang ia bisa.
"An, Mas minta maaf!"
"Mas, sebentar lagi."
"An, mau Mbak anter?"
“Eh, nggak usah Mbak, makasih lo. An pingin jalan aja.”
“An, masih lama?
“Yuk An, nebeng ngga?
“An, Mas di sini ya. Mau pesen dulu ngga? Mas pesenin.”
“Loh, An… belum balik? Mau bareng nggak?”
“Eh, iya… hgg nggak usah Mbak, nggak papa kok, duluan aja. Makasih ya….”
“Nggak… nggak kemana-mana kok Mbak.”
"Eh engga, makasih."
“Eh, nggak usah Mbak, makasih lo. An pingin jalan aja.”
Ana menghentikan jalannya. Matanya berulangkali dikedip paksa. Jatuh, dan jatuh, disambut jatuh.


3

Pintu kost, Ana buka dengan tak sabarnya, orang-orang bertanya mengapa dan Ana hanya lalu begitu saja. Gontai, dengan muka menghadap ke lantai. Ana bergegas membuka pintu kamarnya, tangisnya berhamburan dalam peluk Ina. Ina hanya diam dan terus berusaha menegangkan Ana. Ia tahu, pertanyaannya pasti tak dijawab Ana, dan yang ada Ana akan semakin larut dalam tangisnya.
Dalam pikiran Ana, tak ada yang lain selain ulangan kalimat yang sedari tadi menyampaikan dirinya pada penyesalan.
“Nggak… nggak kemana-mana kok Mbak.”
"Eh engga, makasih."
“Eh, nggak usah Mbak, makasih lo. An pingin jalan aja.”
Ina menghela pelan napasnya,
"Kalau kamu mau nangis, nangis aja, tapi kalo kamu tetep peluk-peluk aku tanpa cerita, aku mau belajar aja."
Tangis Ana mereda, ia menarik diri, tak berani Ana menatap sahabatnya itu. Tangan Ina refleks menghapus air mata Ana yang enggan surut juga.
"Na, aku salah. Aku dosa Na, aku salah. Aku nggak tau kamu bisa terima apa engga. Aku aja nggak tau aku kenapa."
Ana terus mengulang kata yang sama, salah dan dosa dengan sesekali sesengukan.
"An, kamu kenal aku, kalo menurut kamu aku nggak bisa menerima, mungkin aku nggak terima. Tapi, apa yang nggak aku terima itu kamu? Nggak mungkin gitu juga kan An...."
Ana bimbang hendak menceritakan apa yang terjadi, ia tahu betul Ina. Ana hanya terus menangis, sesengukan, enggan menatap mata Ina. Kedua tanggannya saling menggenggam.
"An, kalo kamu cerita kan aku bisa tau masalahnya, kali aja aku bisa bantu. Atau minimal deh, minimal kamu lega An, mau sampe kapan kamu nangis?"
Ana bertekad, Ana mulai ceritanya, bagaimana ia bertemu laki-laki itu, yang ia kira seperti teman laki-laki lainnya. Bagaimana ia kemudian sering berkomunikasi, hingga menjalin hubungan.
Ana terhenti ketika sampai pada kejadian beberapa jam sebelum ini.
"Na, aku bingung ngomongnya gimana. Aku mau nyebut aja nggak berani Na. Aku nggak tau lagi, aku yang salah Na. Aku yang terdorong untuk mengiyakan. Aku dosa Na, aku nggak bisa lanjut cerita."
Ina menyipit, ia tak habis pikir apa yang dilakukan Ana hingga begitu terguncangnya. Ina hanya terus membelai lembut Ana, menatap heran, dan pikirnya kemana-mana.
"An, kamu udah sholat? Kamu sholat dulu deh ya, aku tungguin."
Ana melangkah lesu dengan sesekali menghapus air matanya. Mungkin benar, sholat dulu biar tenang. Tapi, apa mungkin? Sholat?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)