Biru Kepiluan
Pada biru, yang membentang di
sana
kandungmu melenakan,
yang kaya, hingga bintang saja
malu dengan jumlahnya
Pada biru, mutiara-mutiara bangsa
tergulung menuju bibir pasir
mengirama merdu bersama angin,
bersama lambaian pucuk kelapa
ku labuhkan rawai yang lunglai
dengan sesak dan berat
hai kau yang berdiri sendu
sendiri!
untuk apa meratap pada penguasa
yang menuhankan diri!
deru ombak, sepoi angina, sela
menyela
tarikan napasku panjang,
hai kau yang menyerah pada
samudera!
jika melaut tak bisa, bukankah
lebih baik kita binasa?
ombak terderai, memecah karang,
temponya gusar
telingaku memerah,
hei kau yang compang camping
kaosnya!
aku tahu!
bukan tak peduli, tapi untuk apa
berkoar pada orang mati!
ku nanti balasannya, dengan wajah
yang telah merah padam.
diam….
senyap….
pada biru yang membawa pilu,
dia terdiam mengenang murahnya
masa lalu
negeriku dengan tak terhingganya
kolam susu
manusiaku yang tak pernah
membendung nafsu
rupanya dia menghampiriku,
kami duduk diatas pasir plastik
saling menanti, untuk cerita
cerita, atas tragedi tragedi
tiga nelayan tersangka pungli di
Pulau Pari.
setidaknya, itu headline berita
kemarin hari.
lalu reklamasi reklamasi tai.
gugusan pulau yang lebih dari
tujuh belas ribu,
rupanya tak cukup memuaska nafsu.
aku jadi heran……
bagaimana tidak?
laut laut di reklamasi
nelayan sibuk dikriminalisasi
ada apa dengan bangsa ini?
lupakah dengan amanat berdirinya
Indonesia?
Undang undang 1945, Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, dan tetek bengek dasar filsafat kita.
hukum bukan lagi mati suri
ia abadi
untuk semua reklamasi dan zonasi
atas nelayan nelayan kita yang
sibuk dikriminalisasi
lautan bukan lagi kolam susu
ia hamparan pilu
maka tenggelamlah kapal kapal
maka matilah ikan ikan
maka busunglah nelayan nelayan
penguasa sibuk dengan dua tangan
di telinganya
media meletakkan jari di ujung
mulutnya
pengusaha menutup mata yang
semilir dikipas pundi kefanaan
__________
*ditulis dan dibacakan dalam momentum Aksi Gabungan Hari Tani, 24 September 2019
Komentar
Posting Komentar