Tidak menemukan apa-apa

Ada yang bilang selamanya adalah pencarian, untuk menemukan apa-apa yang dipertanyakan. Pada banyak waktu dalam bab kehidupan kita, kita lebih sering tidak menemukan apa-apa. Itu menurutku, tentu aku bisa salah. Sangat bisa.
Setidaknya itu yang kudapati setelah cukup lama berpikir dan merenung. Pada tiap tiap malam, pada tiap menjelang fajar, juga pada ramainya jalanan kita.

Seperti, sesuatu yang harusnya ku temukan itu, ditakdirkan Tuhan untuk enyah dari hadapan. Bimsalabim! Hilang! Atau, ya, tak ku temukan adanya.

Pernahkah, kamu kesulitan mencari pasangan kaoskaki? Penuh waktu pagimu dihabiskan untuk menemukannya. Dalam lemari, dalam box, di kolong meja, di rak sepatu mu, dimana pun. Di seluruh penjuru rumahmu. Dan kamu, tidak menemukannya. Lalu jurus andalan bagi setiap nyawa yang bidadari dunia masih mendampinginya, "buk, kaoskaki ku di mana ya?" detik itu pula, kaoskaki yang sebelah itu ditemukan.

Bagi ku, tetap saja aku tidak menemukan apa-apa. Ibuk yang menemukan.

Untuk beberapa hal di semesta ini, tidak untuk kita. Bahkan ketika dipaksa dan seakan sah menjadi bagian takdir kita, itu hanya ilusi dari percaya.

Pernah aku begitu menyenangi sepatu di rak penjual itu, tepat di depan mata ku, sejajar bahkan. Seakan, ia benar dibuat untuk ku. Ukurannya hanya neda dua digit dari seharusnya. Sial, itu pasangan terakhir dari toko itu. Dan ya. Ku beli. Hei, itu takdirku bukan?
Ku pakai dan tak ku dapati apa apa selain tidak nyaman dan hari yang menyebalkan. Huh, aku seperti mickey mouse hari itu.

Tidak menemukan apa apa adalah sumber petaka lainnya. Bisa jadi. Apalagi bagi ku, bagi orang orang seumuran ku. Kita punya banyak pertanyaan, kita haus akan jawaban, kita butuh pembuktian. Sayang, tak jarang ujungnya ya... kosong. Lalu, kita memupuk kecewa dengan semangat. Berpaling atau lari, tak jarang jadi pilihan. Apakah itu takdir juga?

Ku pikir, takdir adalah jawaban. Ternyata, lucu juga. Takdir bisa saja adalah tidak menemukan apa apa.

Kosong

Tidak ada apa apa

Hampa

Sedikit sampai jumpa dari ku,
Aku hanya ingin bilang.

Langit sore tadi cantik. Sangat amat cantik.
Aku serius, sama sekali tanpa imbuhan berlebihan.

Lain kali, coba deh.
Sekali aja, kamu keluar rumah, sore-sore, kerennya, bisa dibilang, penghujung hari. Kamu duduk di tempat ternyaman yang ada, kalau aku misalnya, aku akan jalan sedikit dekat kantor desa, tepat di tepian jalan, tepat menghadap wajah semesta yang sedang cantik-cantiknya. Itu aku ya...
Terus, kamu tarik napas dalam-dalam, fokus gitu sama suara napas, sama suara sekitar.
Lebih nyaman lagi, tarik napasnya sambil sedikit tengadah, seakan kamu menyerahkan anggunmu pada semesta. Melakukan dengan mata terpejam, dengan luruh perasaan. Terus senyum deh. Hehe
Aih, kok aku mendadak instruktif gitu ya. Hahaha

Andai, aku bisa menyerahkan diri pada semesta dengan cara itu lagi. Sayangnya, tiap hari sampai di ajalnya, seakan semesta turut mencabut aku dari ada, menjadi tiada sebagai fana yang menyedihkan. Wajahku terikat pada pantul bayangan terakhir yang dicipta wajah semesta. Napasku tertahan, diikat erat erat pada ruang yang putih, yang tak ada lagi selainnya apa apa.

Bahkan memaksa hangat untuk menyusup sukmaku untuk beberapa saat, aku tertangkap basah dan makin terpenjara tanpa bisa bersuara apa apa.

Mungkin, ujung hari bukan lagi takdirku. Aku mencoba memaksa, yang ku peroleh binasa. Mencoba mengambil jawaban ternyata ia adalah tidak menemukan.

Pada akhirnya, awal kata dan ujung kalimat ini, takdir adalah aku tidak menemukan apa apa.

Tapi, tidak berarti aku berhenti kan? Nyatanya, sudah sejak lama aku handal menjadi atlet marathon. Lari, lupa berhenti, lupa kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)