Manuskrip Dua Puluh

Telah ku lewati tahun kedua puluh ini beberapa hari. Bagaimana kemudian aku, akhirnya kembali tersentak bahwa aku bahkan bukan poros semestaku sendiri. Sejak denting jam tepat waktu menyambutku lahir menjadi lebih tua lagi, doa baik tak pernah sedikitpun dilupai. Semenjak kemudian aku menjadi manusia yang sangat menunggu doa dari manusia lainnya, aku ditunjukkan bahwa lagi-lagi harapan adalah menyakitkan. Padahal, raja dan ratu menyeluk aku dengan pesta, memakaikan aku rasa istimewa, memanjakan aku yang mulai dewasa.

Sehari aku, menjalani kerja yang tak berbeda dari biasa. Tapi entah bagaimana, senyum selamanya melekat sampai mata mengatupkan kelopaknya. Untuk semua ketakutan yang membelenggu sejak kuartal pertama sampai pada penuh purnama, semua bahkan mendoa aku hidup untuk selamanya.

Aku terbangun dengan detak yang mengajak berlomba denting. Pagiku ramai dengan doa-doa baru, dari ku, juga raja dan ratu. Mimpiku satu persatu didekatkan. Ketakutanku seluruhnya dibaurkan. Entah dunia apa yang begitu paradoks ini. Bulat, putih, hitam, dan hangat pernah begitu ingin merenggutnya. Lengkap dengan duka dan sedu di utuh jiwanya. Senyumnya mekar dan mencumbu lingkar takdir yang katanya mukjizat luar biasa.

Aku masih heran dengan cara kerja asa dan nyata. Bagaimana bisa, keduanya adalah lembaran uang yang banyak jumlahnya? Aku tak habis pikir dengan budi yang justru mengasingkan manusia lainnya. Aku tak sedetikpun berhenti menanyai, bagaimana masa depan dapat memiliki raut sebagaimana badut di pinggiran kota? Entah sejak kapan kritikus itu menjadi ahli dari peragu dunia. Tak ada tajuk utama dalam surat kabar kembang yang terbit hari ini. Semua hanya kolom kosong dan satu teka-teki besar di tengah halaman.

-

Aku masih belum dapat selesai dengan ketikan ini. Aku sangat penasaran dan ingin mencurangi Yang Maha Kuasa dengan berpura membantu mencatatkan kuasa-Nya. Meski sejak biji curang tumbuh di kedalaman hati sudah diketahui-Nya, tapi jika memang neraka ada, maka aku akan tetap melakukannya.

Bagaimana bisa delapan perut selalu penuh dan kenyang dengan nasib dan nasi yang seadanya? Apakah salah satunya serupa Dewi Nawang yang memasak hanya dengan sebutir soro dan sebaskom tresno? Bagaimana bisa kedudukan Agung sampai pada pangkuan keriput tipis lagi sayu mata makhluk nan papa? Bagaimana bisa, penderitaan panjang tak pernah membiarkan air mata menjadi kering pinggirannya? Banyak dari segala alam raya dan pikiran yang tak nyata menjadikan aku menyelam dalam dasar tanpa cahaya. Barangkali memang cahaya hanya ada di surga dan menggerutu bukan alat tukarnya.

-

Pada akhirnya aku kenyang dengan tawa yang dibesar-besarkan, senyum yang dimanis-maniskan, pikiran yang sedikitpun tak diistirahatkan. Aku melihat orang-orang membenci asap hitam mobil tua itu, apakah mobil tua itu tak kalah bencinya dengan si asap hitam? Aku mendengar teriakan di persimpang sana, “orba kembali lagi!” dengan sewot dan begitu nyolotnya. Apakah tidak lebih dulu si orba terkaget dengan dirinya? Mati lalu hidup lagi. Dibunuh lalu bangkit lagi. Tumbuh, hanya untuk dirajam mati.

-

Selamat, lagi-lagi telah runtuh sedikit kembarmu, lewat pikir, yang jujur lagi berani. Aku tak pernah meminta lagi hal-hal yang terlalu besar untuk dilakukan sampai nanti kematian datang. Sudah cukup kuat untuk mempertahankan apa yang tersisa dari menjadi manusia sebagaimana biasanya, sebagaimana belajar dari segalanya. Bagian cukup sulit bahkan terlewati hanya dengan desir, detak, sesak, dan kaburnya pandangan untuk sementara. Mungkin hanya itu bagian tersulit dari rentang kisah yang ditulis dalam catatan kuasa-Nya. Tapi terlena tentu bukan ide baik untuk ke depan bukan? Untuk lebih dari dua puluh tahun ke depan, untuk tidak pernah menjadi lebih buruk dari yang sudah-sudah, untuk diri, persona, Yang Memiliki, dan semestaku sendiri, selamat lebih berjuang lagi.

Hidup ialah menggulung tali ambang batas yang dipunyai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)