Adik dan Pantai Pertama
Tahun 2003 lalu adalah peringatan hari lahir pertama yang saya ingat. Saat itu, kami masih tinggal bersama orang tua Ibuk, dan tepat lima hari sebelum saya merayakan tahun ketiga di dunia, saya telah merayakan diri menjadi seorang kakak, untuk pertama kalinya. Kamu tahu? Itu rasanya sangat menyenangkan, bau bayi dimana-mana, saya bisa berbicara dengan selain orang dewasa, saya pun bisa menceritakan banyak hal tanpa ada yang mengeluh saya terlalu banyak tanya dan bicara. Baju masa kecil yang paling saya ingat adalah atasan denim dan rok denim mini yang lengkap dengan rawis-rawis warna merah. Saya masih mengenakan anting-anting tentunya dan saya sangat senang ketika rambut saya dikuncir warna-warni oleh Ibuk. Bapak, dulu hanya punya satu sepeda, dan itu yang membuat kami bisa bahagia, bahkan dibandingkan sekarang, saya tentu sangat lebih bahagia menjadi Mufida kecil yang hanya tahu sedikit hal saja.
Ah iya, dalam peringatan kelahiran saya yang ketiga itu, kalau saya tidak salah ingat acaranya cukup ramai dan banyak orang yang hadir. Teman-teman di lingkungan sana, orang tuanya, keluarga besar saya, dan tentunya teman-teman orang tua saya yang sekalian hadir untuk menengok adik baru saya. Sayangnya, saya benar-bena lupa siapa saja teman kecil saya itu. Saat beranjak remaja dan mulai dewasa sebagaimana sekarang, saya memang sering menginap di rumah kakek, dan saya yakin orang-orang seumuran saya yang selalu menyapa dan menanyakan kabar saya adalah teman kecil saya. Sayangnya, saya tidak ingat sama sekali. Meski saya hapal betul wajahnya, saya tidak pernah tahu namanya. Sekali saya bertanya kepada saudara, berkali-kali justru saya melupakannya.
Sebahagianya saya mejadi seorang kakak, saya tetap cemburu karena merasa banyak orang justru mulai menganggap saya tidak lagi begitu menarik. Adik bayi, selalu menarik. Dia selalu digendong Ibuk, Tante, Nenek, dan banyak orang. Sedangkan saya, saya melihatnya dengan sedikit oh mungkin lebih banyak iri. Tapi saya ingat, Ibuk pernah berkata bahwa iri itu penyakit hati dan itu sangat tidak baik. Lalu, saya menghampiri banyak orang-orang yang sedang berbicara dan bercanda itu dengan sedikit lesu. Ibuk sedang memangku adik bayi, di atas, ya, di atas kursi. Saya menghampiri dan langsung mengambil posisi tepat di bawah adik bayi. Saya pikir, mungkin tangan Ibuk saya masih cukup untuk bisa mengelus-elus kepala saya atau memainkan pipi saya. Dan kamu tahu apa yang selanjutnya terjadi?
Kejadian selanjutnya adalah ingatan masa kecil paling tidak dapat saya lupakan. Adik bayi, pipis tepat di atas kepala saya. Tertebak reaksi pertama saya atas kejadian itu? Ya, saya menangis, tapi semua orang tertawa. Saya menangis, tapi semua orang tertawa. Saya menangis, tapi semua orang tertawa, selain adik bayi yang tentunya juga menangis karena celananya basah.
Kami berdua tumbuh bersama, dari kecil hingga sekarang, saya tiga tahun lebih tua, dia beberapa belas centimeter lebih tinggi dari saya. Saya tidak suka dengan dia, dia juga malas menanggapi saya. Seingat saya, kami masih bersama-sama hingga saya SMP atau setidaknya awal-awal SMA. Saya bisa saja salah, karena ingatan saya sangat buruk. Saya tidak benci adik saya tentunya, dia adalah kecil kesayangan saya untuk pertama kalinya, saya hanya merasa kami sangat berbeda dan entah mengapa sedikit toleransi saja kadang susah saya lakukan. Tapi jujur, saya tetap sayang dia, tapi saya juga tak habis pikir, mengapa komunikasi antar kami sangat buruk? Saya sangat sering mencoba memperbaiki hal yang tidak seharusnya itu, tapi selalu saya gagal pada hari kesekian. Sampai saat ini, bahkan memahami dia yang telah bertumbuh dengan cepat rasanya amat sulit.
Kami adalah anak Ibuk Bapak yang merasakan adaptasi lingkungan baru untuk beberapa kali. Pindah dari rumah ke rumah, desa ke desa. Dulu saat kami masih tinggal di perumahan, rumah pertama Ibuk dan Bapak, pernah sekali saya dan Ibuk berbelanja ke luar dan meninggalkan adik saya yang sedang tidur. Saat kami kembali, betapa paniknya melihat adik saya tidak ada di ranjang dan sudah berada sangat tipis di pinggiran sumur. Kalau itu terjadi pada masa sekarang, mungkin Ibuk akan bilang kalau situasi saat itu membuatnya merasa seperti menjadi seorang Ironman, haha.
Saat masa-masa di perumahan, saya telah bersekolah di taman kanak-kanak. Setiap pulang sekolah, pasti saya diantarkan oleh guru sekaligus teman nenek saya, ya… nenek saya menajdi guru di sekolah yang sama. Kamu tahu? Setiap hari, saya mengukur pertumbuhan diri dengan ‘menggunakan’ beliau. Paham? Jadi seperti ini, setiap saya diboncengkan beliau, saya selalu berpegangan dengat sangat amat erat. Oh tidak, mungkin lebih tepatnya, saya memeluknya, melingkarkan dua tangan saya di perutnya, hahaha, itu rasanya sangat lucu kalau di ingat. Hari ke hari, saya rasa saya semakin bisa ‘menguasai perut’ beliau karena kedua tangan saya bertumbuh dengan baik, sangat baik.
Samar-samar ingatan saya, entah kehamilan Ibuk yang kedua atau ketiga, kami sekeluarga pernah bersepeda ke pantai. Itu adalah pantai pertama saya. Bapak dengan sangat kuat membawa kami sekeluarga ke sana, menaiki sepeda, dengan Ibuk yang sedang hamil tua. Ah iya, rasanya saya mulai ingat. Itu, sebelum adik pertama saya lahir. Saya tidak ingat itu pantai mana, tapi saya ingat betul perut buncit Ibuk, pedal sepeda Bapak, dan saya sangat jelas mengingat kedua lengan saya dipegang Bapak erat-erat lalu Bapak ‘mencelupkan’ saya ke dalam air laut. Itu pantai pertama saya. Tidak ada lampu-lampu di atasnya, tidak ada kursi-kursi di pinggirnya, tidak ramai tentunya, dan hanya ada kai bertiga, dengan satu calon manusia di perut buncit Ibuk saya, dengan sepeda yang diparkir entah di mana.
Sekarang dunia telah banyak berubah, kami semua juga tentu berubah. Ekonomi semakin sulit, waktu bersama semakin sedikit. Berharap untuk masa depan bukan hal main-main, kami harus bahagia, bahkan di tengah situasi yang makin menggila. Kami, harus bahagia.
Ah iya, sekarang saya bahkan telah menjadi kakak untuk lima orang laki-laki.
Komentar
Posting Komentar