Sempolan Dua Bungkus

Kebulan asap beraroma menggiurkan memenuhi dapur kami. Memang tak terlalu bersih sebagaimana dapur-dapur berada. Lantainya masih semen, atapnya masih bocor kalau hujan, kompornya dengan api yang sesekali malu-malu karena tabung yang menjelang merah, peralatan pun tak lengkap. Dapur kami, jarang kami gunakan untuk memasak sebagaimana dapur dengan Ibuk yang bekerja untuk keluarga dan kantornya adalah seisi rumah. Waktu-waktu sibuk dan genting, akhirnya dapur kami akrab dengan mie, telur, air, dan tidak banyak teman dekat. Ngomong-ngomong, pandemi ini benar-benar menyenangkan dan menyulitkan dilainan sisi.

Ditambah lagi, kalian tahu? Tetangga dan ya... Saudara kami, positif covid-19. Jujur saya turut prihatin mendengarnya, tapi saya juga cukup muntab dengan kelakuannya.

Sejak beberapa minggu lalu, kami berdelapan, lengkap di rumah. Saya sempat jenuh dan mungkin tidak nyaman, ingin sekali kembali ke perantauan. Ada banyak faktor tentunya. Tapi saya sadar, di antara semua rasionalisasi logika dan otak manusia, kasih sayang dan kedekatan hubungan darah adalah harta yang tak tertandingi harganya. Ada banyak hal yang membuka saya dan hubungan antar kami menjadi lebih saling memahami. Setidaknya, sebagai anak dan mbak, meski saya belum bisa sampai memahami semua harta saya, saya sedang dan terus berusaha mengenal dan memenuhi apa-apa yang akan membuat kami erat, lekat, dan bahagia bersama-sama.

Mengenai masak dan makanan, tentu kami punya selera yang sama, Ibuk yang menjadikan kami seragam.

Hari ini, saya merasakan kebahagiaan yang amat dalam, padahal mungkin itu hal yang sangat sepele. Sempolan dua bungkus.

Hari ini kami semua di rumah, seperti biasanya, ada yang sibuk pembelajaran jarak jauh, menulis berita, tidur, nonton televisi, dan banyak hal. Oh iya, kemarin kami sukses kenyang dengan masakan tersedap yang pernah ada, dan hari ini kami akan mengulang kesuksesan yang sama. Tapi, pagi tadi Ibuk mendadak harus ke sekolah tempat beliau mengajar. Ah tidak apa-apa, Ibuk sudah janji, akan memasak, lalu makan bersama.

Saya, memang anak perempuan satu-satunya, harusnya resep dan mantra rahasia Ibuk diturunkan ke saya bukan? Sayangnya sampai sekarang saya belum bisa masak. Hehe, tidak benar-benar tidak bisa si, tapi tetap saja, saya belum bisa memasak.

Sudah pukul sepuluh lebih tiga puluh menit, kurang lebih, Bapak mendatangi saya yang sedang sok sibuk membaca. Kata Bapak, "Mbak, belanja sana, terus masak, coba liat udah jam berapa?", jujur itu serem, wkwkwk. Bapak tau, saya masih belum mau memulai belajar memasak, terakhir kali saya memasak, adik saya mengeluh, Ibuk saya tertawa, Bapak saya ndak mau makan. Saya bilang saja, "Pak, Ibuk kan udah bilang, bentar lagi juga pulang, baru deh masak bareng Ibuk".

Untungnya, tak lama dari kejadian itu, Ibuk pulang. Saya laporan dong otomatis, wkwk.

Menu makan siang kami hari ini adalah nasi panas, sayur asem, panggang sambel, dan tempe serta tahu goreng. Asli, saya auto laper dan ga sabar semuanya matang.

Berhubung semua sudah lapar, sambil menyiapkan makan siang, Ibuk meminta saya menggoreng sempolan terlebih dahulu, buat ganjal perut katanya. Saya gorenglah sempolan dua bungkus itu, saya tuangin saus ke atasnya, dan kalian tahu? Semua orang menyusul ke belakang. Kami di dapur berdiri melingkar. Bagaimana ya untuk menggambarkannya....

Ibuk di depan kompor sambil menggoreng tempe, oh iya ada adik saya juga, dia katanya sih mau membantu menggoreng. Lalu saya di samping kompor dekat pintu dapur, di sebelah kiri saya ada kursi, adik saya  duduk di sana, adik saya yang lain sedang serdiri di sebelah saya sambil memasang muka mengejek, dan bocil ada di samping Ibuk dekat kursi. Kalau Bapak, Bapak di dekat pintu kamar mandi. Adik saya yang satunya? Masih tidur astaga. Sepertinya deskripsi saya gagal deh.... 

Oh iya, kenapa ada kursi di dapur dan dekat kamar mandi, itu bukan sebagai tempat duduk kalau capek masak sambil berdiri, tapi untuk saya kuliah. Ya begitulah, hanya spot itu yang jaringannya stabil, jadi silakan bayangkan seharian saya duduk di sana untuk kuliah dan praktikum... 

Sempolan dua bungkus itu kami makan bersama-sama sambil tertawa karena adik saya dengan muka jeleknya ternyata kepanasan karena makan sempolan panas dengan sekali 'hap'. Sungguh serakahnya... Haha

Kami tertawa, kami tertawa, kami tertawa bersama-sama. Saya sungguh merasakan kehangatan keluarga. Meski ya aslinya kaki kami kebecekan dan udaranya panas, ditambah api kompor dan uap makanan hehehe...

Oh iya, saya menulis ini saat menunggu giliran makan, kenapa giliran? Karena saya suka makan pakai bekas piring Ibuk, hanya saya si, untungnya hanya saya.

Saya yakin, kalian juga pasti punya hal-hal kecil dalam keluarga yang sepertinya biasa saja dan tidak terlalu penting, tapi itu adalah bahagia bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)