2 - Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka
Kemudian, aku mengangkat wajah dengan sedikit yakin, bahwa ada hal-hal yang memang tidak seharusnya dengan mudah ku sampaikan pada orang lain. Otak manusia barangkali memang sama, tapi isi kepala tidak ada yang benar-benar dapat membuatnya sama. Dengan sadar, senyum lahir dengan suara pelan. Aku memelankan jalan, memendekkan langkah, lalu berhenti dalam hitungan ketiga.
“Kamu tahu aku di sini?”
“Pendengaranku cukup bagus untuk mengetahui ada langkah lain yang tergesa padahal sepanjang jalan tidak ku temui siapa-siapa.”
Lalu kita, membuka suara bersama, “aku salah.”
“Ada banyak hal yang bisa kita lakukan hingga-hingga mentari hari ini menjadi terang dan awan betah mendampinginya agar manusia tak banyak mengeluh jadinya.”
“Ya, tentang pertanyaan spontanku tadi, aku simpan dulu untuk nanti. Mungkin setelah kamu menjadi tidak sesensitif ini.”
"Sejak kapan aku sensitif?"
"Emm... Ingat? Aku banyak bicara, kepalaku lebih banyak lagi, dan aku memang tidak sabar untuk mengeluarkan semuanya. Baiklah, hei ayo senyum."
“Iya, iya, tentu aku ingat, sangat ingat. Aku hanya...."
Kamu tak menyelesaikannya.
"Kamu ingat Zainal? Yang menangis tiga hari tiga malam hingga lupa mandi lupa makan karena Siti yang pergi duluan.”
“Yang kamu hantarkan rantan tiap siang?”
Aku mengingatnya cukup baik. Tentang kasih yang berpaling dari Ibu kepada buah hati, tentang ditinggalkan yang akan membuat hidup menjadi cukup berantakan.
“Dia masih harus bahagia.”
Sampai akhirnya mobil pengangkut alat nandur datang menyisihkan kita di sisi kanan jalan. Kita menyudahi adu bakat menahan kedip agar tak kehilangan bening mata di hadapan.
“Kamu tahu kenapa gajah tidak dapat terbang?”
“Tidak, memang kenapa?”
“Aku juga tidak tahu, makanya aku nanya,” refleks ku cubit lengannya.
“Apa-apaan coba.”
“Kamu sebal karena itu bukan trik menggoda?”
“Aku sebal karena aku berpikir untuk digombalin.”
“Tidak berubah. Kamu itu kebanyakan berharap sama aku. Tapi nggak papa, lanjutkan, aku akan berusaha.”
Ku tarik napas sembari mengeleng keheranan, “Aku punya satu,” seperti ada lampu di kepalaku, aku memekik seketika.
“Katakan, aku akan siap-siap.”
Wajahnya selalu tenang,
“Katakan padaku satu kata, akan ku kembalikan utuh satu kalimat.”
“Tidak,” katanya membuat aku mendengus.
“Kok tidak si, padahal aku benar-benar ingin membuat kamu tersenyum karena ini.”
Tangannya mengusap kepalaku pelan, matanya mengunciku, “maksudnya, aku memilih kata tidak, cepat buatkan satu kalimat itu.” Aku menahan senyum, “bisa-bisanya, baiklah, ini sulit, tapi mari kita coba.”
“Kamu tahu? tidak ada hidup yang lebih membahagiakan daripada hidup bersamamu.”
Aku berpikir sejenak, “Tahan, tahan, jangan komentar, aku mau revisi aja.”
“Untuk alasan-alasan yang tidak aku ketahui, aku bahkan merasakan kita akan selalu diliputi kasih dan tawa yang durasinya lebih panjang dari senja hari,dan meski aku tidak cukup pandai untukmu, kita akan sering bertengkar tentang benar atau salah dengan cara paling romantis yang hidup lagi menghidupkan."
“Panjang… dan jelek. Yang pertama aja. Karena aku juga.”
Aku benar-benar merasakan pipiku hangat. Cacing-cacing di perut ku, entah bagaimana caranya tiba-tiba bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Tidak ada yang logis perihal cinta, memang. Kamu tertawa, puas. “Sudah, kita harus pulang,” digenggamnya aku.
“Lagian kamu nggak umum banget pilihan katanya. Jadi, yaudah, terima seadanya.”
Kamu terkekeh merayakan kegagalanku. Lalu kita berjalan dengan hening, menatap lurus dengan pikir yang terbang masing-masing. Angin berhembus dengan pelan, embun telah benar-benar hilang. Jalanan menjadi milik berempat, aku, kamu, dan bayangan kita yang nampak kerdil.
Komentar
Posting Komentar