3 - Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka

Makan siang telah siap, masakan yang sama sekali tidak memiliki konsistensi rasa, yang herannya kamu suka-suka saja. Mungkin itulah definisi manusia yang menghargai makanan dan semua keringat di belakangnya. Bisa juga itu ialah hati-hatinya menjaga perasaan.

“Kamu kenapa dulu tidak semangat belajar memasak?” Kamu membuka obrolan nyaris pada suapan pertama.

“Karena tidak suka, lagi pula aku jarang di rumah. Menyejahterakan orang lain dengan membeli dagangannya juga ide baik kan?”

Ku angkat sendokku tepat di depan mulut yang tidak sabar untuk hap. “Aku pintar masak, masakanku enak.”

“Pamer, kebiasaan.” Langsung kamu menyambarku dengan jawaban andalan sepanjang masa, “ini bakat, dari Tuhan, harus dikembangkan.”

"Bangga dengan bakat pamer dan sombong." Ku putar bola mataku, hampir aku benar-benar mulai makan, “Kamu….”

“Makan, kunyah, telan. Aku juga mau makan,” akhirnya, suapan pertama.

Aku melihat kerut di pelipismu, di pipimu, di masing-masing ujung bibirmu.

"Astaghfiullah kamu tuh emang galak ya."

Kami lebih banyak tertawa daripada mengunyah. Tidak ada yang spesial setelah makan siang, kamu di wastafel, dan aku dengan gagang sapu yang ijuknya bercabang dua.

“Aku di depan ya,” ku ambil buku yang sebenarnya tak pernah benar-benar ku baca.

Lidah mertua ber-helm ciptaan kita, rupanya masih gagah di sana. Kucing di bawah kursi, gawai di ujung meja, dan kufi pertamamu masih gagah di dinding sebelah sana. Segelas air lengkap dengan enam kotak es batu kamu sodorkan ke arahku.

“Kamu selalu lupa minum, nanti sariawan lagi, bau.” Mataku membahasakan kasih selembut mungkin, memberikan senyum dengan pikir masih keheranan, dan “terima kasih”.

“Terima sayang,” katamu.

“Kamu ingat itu?” Ku arahkan pandangannya apda dinding berwarna abu tua.

“Balsem?”

“Haha iya. Balsem dan es krim kita. Dasar narsis.”

“Lebih baik narsis daripada ketakutan gara-gara es krim.”

“Tapi memang itu menakutkan ya, setelah itu auto tobat kan akunya.”

“Hidup mahasiswa!” Kamu memekik tanpa ku duga.

“Dasar gila.”

Terik mulai redup, buku itu benar-benar tak pernah serius ku baca. Kadang, aku lupa banyak hal telah berlalu hingga saat ini. Lupa bahwa banyak tawa dan air mata yang membawa kita menikmati pagi, buku, dan malam overthingking yang menyebalkan. Seolah, tiba-tiba saja, Tuhan membuat kita duduk bersama dan berfoto layaknya ratu dan raja. Padahal ada banyak jatuh bangun yang membuat kita merasakan terkutuknya menjadi manusia. Dan aku pernah hampir hilang harapan, tentang kamu yang jauh, dan ulurku yang tak segera kau tanggap. Kalau kamu ingat, kemudian aku merapatkan diri, bersepakat dengan bahasa cinta para sufi, bahwa aku mencintaimu dengan segala patah yang telah ku siapkan, dengan segala patuh, kepada harap Tuhan, bahwa tumbuhnya mawar ini, tidak dengan paksaan untuk memiliki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)