4 - Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka

Pagi kembali lagi, udara sejuk menyelip di antara aku. Ku naikkan selimutku agar hangat tetap bersamaku. Pintu berdecit, jejak langkah terdengar begitu mantap dan yakin. Saklar lampu yang dimatikan, kicau burung yang menenteramkan. Aku masih memejamkan mata sembari mengingat-ingat mimpi apa aku barusan. Ada yang membuka keran depan.

“Kamu harus lihat ini Na, mereka sudah tumbuh dengan baik…”

Suara itu sangat indah, memanggil dengan cara yang selalu ku suka. Ku turunkan selimut, ku lipat ia menjadi kotak. Kaki pertamaku turun menyerap dingin, namun ia cepat beradaptasi. Aku mengikat rambutku acak. Berjalan dengan penasaran dan segera. Kamu di sana, berdiri dengan semangat dengan selang air di tangan kanan. Mengajak bicara tanaman, menyanyi bersama burung-burung, dan mengucapkan terima kasih pada langit yang mau menjadi terang lagi.

"Selamat pagi Awan," aku menyapamu dengan begitu riang. Menyadari hari telah berganti dan kita tetap di sini. Aku berkeliling dan melihat anak-anak kita, yang aku suka tapi tak aku rawat dengan baik. Kamu, memang laki-laki baik. Rajin, semangat, niat, dan selalu berpikir untuk masa depan. Jauh dari aku yang senang terjebak dengan seandainya-seandainya untuk masa lalu.

“Ini selada kan Wan?” dua jariku, mengidentifikasi anak-anak kami yang nampak sehat, dan segar. Kamu mengangguk dan berjalan dengan tergesa untuk mematikan keran.

“Selanjutnya apa?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Kita keliling yuk, sekalian mampir ke bubur Pak Owi.” Ku tarik tanganmu tanpa menanti jawaban.

“Kamu udah bawa duit?”

“Belum, hehe.”

Kami berjalan, berkeliling dengan santai. Menikmati jalanan yang sepi, pancaran mentari yang emas, dan aspal yang basah karena hujan semalaman.

“Pernah, aku membayangkan bahwa jalanan ini tidak berujung. Seperti jalanan panjang menuju ke surga. Kanan kirinya sama, lebarnya cukup konsisten, sepi, dan tak jarang merasa seperti berjalan tapi tidak kemana-mana.”

“Kamu harusnya tidak merasa seperti itu.”

Aku berhenti, menghadapkan wajahku pada hamparan hijau yang terjarak dengan kita oleh sungai kecil. Aku duduk di tepian dan mencelupkan kaki ke aliran yang jernih itu. Kamu mengikuti apa yang aku lakukan, melanjutkan kalimatmu, “kamu harusnya tau bahwa kamu telah melewati yang ini dan menuju ke yang itu.”

“Apa cirinya?”

“Lubang, dan kerikil yang bentuknya berbeda. Mungkin juga kamu akan sadar bahwa lubang yang ini berbeda dengan yang itu, karena meski sama, yang ini ada bonggol jagungnya.” Katamu sembari menoleh ke belakang kita, menunjukkan bahwa ini dan itu memang berbeda.

“Kamu benar.”

Aku memutuskan untuk turun. Melepaskan sandal buluk yang sudah licin alasnya.

“Kamu tidak ingin turun?”

Ku ulurkan tangan, menggenggam dengan tangan kanan. Sandal buluk itu, sudah di tangan kiriku.

“Kita lewat sini aja ya…”

“Ribet banget.”

Aku terkekeh, kamu tersenyum. Lalu kita berjalan, bergandengan dengan erat agar tidak jatuh sewaktu-waktu. Melanjutkan perbincangan, tentang sawah, petani, dan penguasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)