Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka.

Pagi, sejuk, dan lempung yang basah. Aroma manis menyoraki butir embun yang segera jatuh terganggu gelayutnya. Jauh batas pandang mata sana, dunia mulai membangun mimpi-mimpi yang semalam dikumpulkannya. Jalanan mulai dipaksa menampung semua orang dan besinya. Aku meletakkan ceret dan yang lainnya di tengah galengan tipis. Membuat kita tak bisa jauh-jauh dan senang berpegang satu sama lain. Menggelar alas daun pisang untuk duduk, membuka bungkus pisang goreng yang hampir saja menjadi gosong karena ditinggal untuk memanggil jiwamu kembali padaku. Kau ambil gelas untuk kita berdua, ku tuang wedang untuk menghangatkan kita. Lalu menyeruputnya bergantian dan menandai bekas masing-masing bibir yang gemar merapal doa dan pinta.

Mataku menghampiri gunduk dengan pohon kelapa di atasnya. Kita pernah di sana, saat malam perlahan jatuh ke dunia, saat jerami membuat merah kulit kita. Aku menyimpannya baik-baik di bilik kenangan yang tak seberapa kapasitasnya. Kamu masih tertunduk dengan kaki yang sengaja dicemplungkan ke lempung basah, menggodai keong untuk mengunci diri di rumahnya. Lalu aku tertawa, tiba-tiba, seperti biasanya.

“Ini masih pagi, terlalu pagi untuk membicarakan omong kosong dan ilusi-ilusi olah pikir manusia,” katamu seraya bangkit dan mulai mengerjakan sawah.

Aku tak bergeming, tapi mataku kemudian beralih kepadamu yang begitu serius mengerjakan semuanya seolah-olah salah sedikit saja adalah binasa. Aku melongak ke atas dan ku temui langit yang bagikan hvs bersih dengan sedikit gradasi biru dan putih. Kemudian tanganku mengambil keong mas, berharap ia adalah keajaiban yang akan membantu mengurus semua pekerjaan rumah.

“Ayolah, di sini kita hanya untuk menikmati pagi lalu kembali. Sebentar lagi Din dan yang lainnya datang, mereka akan menyelesaikan semuanya, bahkan lebih baik dari yang kamu kerjakan.”

Kemudian berhenti, menatapku dengan serius dan sedikit tersenyum. “Kemarilah dan ini akan lebih menyenangkan.”

Aku bangkit sembari menggulung lengan. Aku ingin melihat wajahnya lebih dekat hingga dapat ku lihat keringat di pelipisnya.

“Kita punya banyak waktu untuk bicara di sini. Telah ku buatkan folder khusus dalam bilik kenangan tentang sawah dan pemikiran logismu.”

“Aku masih senang dengan ini, menghayati betapa sebutir nasi adalah keringat yang mengalir dari kepala hingga kaki.”

“Baiklah, aku punya satu pertanyaan dan jika kamu benar menjawabnya, aku akan berhenti berisik dan membiarkanmu bekerja.” Kemudian kamu, tegap menatapku tegas.

“Aku tahu gelap bahkan baru saja pergi, tapi pertanyaanku, apakah mati adalah tragedi?”

Aku bisa melihat matamu tiba-tiba kosong, tapi sekejap, dua tanganmu mendekap aku dan menegaskan bahwa pagi hari terlalu dinodai dengan pertanyaan seperti ini.

“Aku melihat mentari baru saja mulai meninggi, dan aku melihat bahagia sedang menuju kemari.”

Dedaunan bergesek seiring perjalananmu menjauh dari pinggir galengan. Tanpa menoleh sedikitpun kamu kemudian memintaku untuk pulang.

Tidakkah cukup untuk hidup dengan harapan umur panjang?

Kaki ku, seumpama menapaki alat olahraga modern yang berjalan tapi tak pernah kemana-mana. Biasanya ku lihat parit dan kerbau yang menjadi bahan olokan manusia pintar, tapi kali ini, aku hanya melihat tanah dengan batu terjal yang susunannya sama sekali tak rapih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)