5 - Aku, Kamu, dan Manusia-Manusia Boneka

“Aku kurang bisa memahami, mengapa Bu Sur memilih untuk menjual gabahnya ke Tarmudi? Padahal sudah jelas kalau Tarmudi itu culas dan memasang harga yang tidak masuk akal.”

“Si Amar, anak Bu Sur yang di luar itu, dia bisa berangkat dan betah di sana karena apa? Karena Tarmudi yang mengantarnya dan memberikan bekal untuknya. Lagi pula, Bu Sur tidak punya pilihan. Sawah yang sudah dikepung rumah-rumah bagus kanan kirinya itu, mungkin sebentar lagi juga akan ikut menjadi bangunan tempat tinggal.”

“Kamu tuh suka asal aja, Bu Sur pasti mewariskan sawah itu ke Amar dong. Lagian Amar juga sepertinya mau-mau aja ngurusin sawah. Kalo engga, ya tinggal minta bantuan aja sama Din. Ya kan?”

Kamu menggeleng, dengan ragu.

“Aku yakin, Bu Sur lebih sering tidak balik modalnya dibanding untung.”

“Mungkin.”

Lalu pikiranku terbang, menemukan kita, yang berjalan sambil menuntun sepeda bersama-sama. Masih dengan api yang baru saja tumbuh dan memiliki banyak bahan bakar agar tak lekas padam. Kita melangkah di bawah hamparan lintang. Lampu jalan cahayanya remang-remang. Berceloteh tentang mahasiswa-mahasiswa yang mendaku merdeka atas suaranya demi rakyat dan negara, menertawakan fanatisme jalur keturunan, mentok memikirkan utopisnya cita-cita merdeka 100% di Republik Indonesia. Beruntung, kamu memanggil aku, membangunkan ku yang baru saja beranjak untuk berkelana. Aku baru sadar, kamu sudah di atas dan genggaman kita merenggang. Kaki kananku menjadi tumpu, kamu menjelma selayaknya magnet untukku. Kita sama-sama memakai sandal buluk dengan kaki yang basah lengkap dengan sedikit lumpur.

“Kondisi semua manusia lemah dan kecil di sini, didesain untuk melarat, dibentuk untuk menjadi pihak yang selalu kalah,” kamu melanjutkan perbincangan.

“Apa mereka merasa seperti itu?”

“Kecil dan lemah? Atau merasa dikecilkan dan dilemahkan?” Aku mengangguk sembari berpikir, “yang terakhir.”

“Itu masalahnya, kamu pasti tidak habis pikir dengan toxic relationship yang menjerat perempuan, kebanyakan sih. Tapi begitulah relasi antar manusia, tak jarang, kepercayaan dan kenyamanan membuat kita tak banyak berpikir jernih.”

Dahiku berkerut dan aku memutuskan untuk diam sebentar, ku pikir ini karena lambungku yang belum mencerna apa-apa dan otakku masih tertinggal di atas bantal.

“Takdir Tuhan melekat dalam tiap proses pikir, penerimaan dan ketidaksadaran, akhirnya ya sudah.”

“Menganggap diri kita rendah dan merasa nyaman dengan…”

“…pencitraan yang diberikan oleh mereka yang kuasa,” kita melanjutkannya bersamaan.

“Udah ah, ayo cepetan, keburu ramai nanti kita makan apa?”

Kamu berjalan mendahului aku.

“Kamu lebih milih bubur daripada aku?” kataku dengan sedikit berteriak.

Kamu menengok ke belakang, tanpa melambat sedikitpun, “kalau aku mati, kamu mau bucin sama siapa?”

Heran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)