Berdiri di tepian jurang adalah satu hal dengan dua hal. Maksudku adalah bahwa itu menjadikan kita dapat berteriak sekeras dan sampai selega mungkin, lalu setelahnya menikmati bentangan alam yang Tuhan telah dan terus ciptakan, juga bahwa itu adalah percobaan mengakhiri perjuangan di dunia yang terlalu sulit untuk dimengerti akal manusia. Sudah lebih dari satu tahun aku berdiri di sini dan tidak pernah kemana-mana. Aku bergerak, tapi hanya bergeser dari satu posisi ke posisi lainnya yang... sama-sama sekarat. Aku lelah hingga akhirnya aku memilih duduk, dan sialnya, tebing bergetar dan segera longsor. Pernahkah kau? menemukan jawaban acak di kepala dan sesaat hendak kau tuliskan ia di lembar jawaban, mereka kemudian menjelma huruf acak berterbangan di udara seperti debu. Kita semua sering menjadi bahagia, membahagiakan, dan dibahagiakan. Lalu kita juga tidak pernah tanpa tergores, perih, berdarah, lebam, jatuh, tersungkur, sesak, tercekat, meledak, dan berapi-api. Kita selalu melal
Kisah ini dimulai sejak dia melangkahkan kakinya lepas. Disambut dunia yang menawarkannya banyak pilihan, yang bahaya layaknya kaca tipis, indah nan rapuh. Terlepas dari sosialisasi di hangatnya ikatan darah, sosialisasi dengan manusia lain begitu berdampak. Mengenal dan percaya, yakin dan kemudian melakukan. Tanpa sadar, arus informasi membawanya pada euforia menjadi manusia seutuhnya. Definisinya berkembang dari pengalaman belajarnya di rumah, terus berkembang dari paparan interaksi manusia lainnya, dan berkembang akarnya, menguat dan menjadi nilai dalam dirinya. Proses tak berujung, menjadi manusia ala definisi susunannya. Mencari hingga temu kemutlakan sebagai ‘aku’. Nilai yang melekat pada manusia seutuhnya begitu abstrak. Filosofi tiap manusia dalam ‘berhidup’ menjadi unik dan kekhasan dirinya. Entitas yang tak benda namun mematerilkan. Setiap nilai yang lekat itu termanifestasikan dalam bentuk ide, cara berpikir, sikap, hingga perilaku. Perdebatan klasik tak berkesudahan ada
Komentar
Posting Komentar