Tanah Ke-22

Kami memijak tanah baru, lagi. Ini sudah tanah kedua puluh dua. Sampai di sini adalah ketetapan mutlak. Meski kami tidak pernah mengetahui, tapi sekarang kami akan mengatakan bahwa ini adalah niscaya. Kami meninggalkan catatan-catatan. Catatan yang kami ringkas selama di perjalanan. Perjalanan menuju tanah kedua puluh dua.

 

saat hampir sampai pemberhentian ke-22

Keluhan paling besar dari sakit yang diderita adalah tidak ada apapun yang tumbuh dan membesar selain ketakutan-ketakutan. Konsultasi paling buruk, dilakukan sendirian. Bagaimana mungkin, manusia yang iman kepada kata-kata, terus melontarkan kata-kata sebagaimana mantra-mantra tak tergugat? Niscaya, sumber-sumber itu menjadi benar nyata.

Karena hidup dari bahan bakar cinta, dan terus akan demikian, tanah yang telah berpuluh tahun mencoba menemukan menjadi begitu obsesif pada kehadiran bahan bakar itu. Tepat bahan bakar terbaik kehidupan, namun sesekali, bahan bakar itu menjelma menjadi sumber energi kotor tak terhindarkan. Itu menjadi liar dan menakutkan saat ditemukan pada beberapa langkah yang dipercaya sebagai jelma bunglon sekarat.

Sebab tidak diiringi kebertanggungjawaban.

Naif mengatakan bahwa dunia dipenuhi pelangi dan kue-kue manis. Kedua bola matanya berbinar mengenali manusia-manusia dalam kawanan asing. Pupil membesar memandangi manusia-manusia yang sengaja dipersilakan duduk dan minum beberapa teguk. Tidak membeda-bedakan. Seluruh ruang cukup untuk semuanya. Namun, hanya sampai sebelum protes dilantangkan di aula utama. Gegar.

Menjadi aktif adalah pilihan tetap yang diputuskan.

Kami tidak akan bergerak pada ejawantah-ejawantah atau pun manifest konkret. Tidak dulu. Kami akan terus melayang atau berenang. Menikmati antah berantah yang tanpa tanggung jawab.

Gejala menjadi semakin jelas. Ia yang bertolak dari putusan, membuat ketakutan berkembang seperti darah putih kelaparan.

Laku-laku yang tak disetujui otak karena tak terburu lapor, menimbulkan kejadian-kejadian yang lalu dikenali sebagai kepribadian. Sum-sum tulang belakang menjadi serakah dan ambisinya tak terkendali. Pada saat-saat tertentu. Pada saat tenggelam, ternyata masih dapat menenggelamkan lebih jauh.

Paradoks demi paradoks diciptakan sebab evaporasi. Pekat dan selalu diiingi kilat-kilat yang enggan dikendalikan. Bayi-bayi keinginan berperang mendapatkan perhatian. Kepentingan-kepentingan tumpang tindih dan saling menegasikan.

-

Mei hadir untuk kedua kalinya. Pertama memutuskan mendukung kasih yang kehilangan kedua kakinya. Kedua, melahirkan satu manusia paling dicintai di dunia.

Ketakutan-ketakutan, ternyata memiliki pengecualian.

Antibiotik yang diresepkan membuat gumpalan-gumpalan pekat menjadi bertetangga dengan gumpal-gumpal permen kapas. Berbekal hanya dua bola mata yang berbinar tak waspada, rabaan pada keduanya menjadi tiada beda.

Ahlinya melakukan dikenai tindakan balasan. Kedua tangan terbuka lebar dan menangkap hangat pelukan manusia-manusia yang terkecualikan. Medan antar kutub memancarkan energi baru yang seharusnya didesak untuk segera menggantikan. Tapi, betapapun mencoba. Selain keterkecualian yang telah ditetapkan, tidak ada regulasi yang akan mengizinkan. Lalu, bagaimana jika kita layangkan gugatan?

Petisi diciptakan dan dikampanyekan ke mana-mana. Dukungan mendesak akuan yang sedari awal hanya riak berkembang menjadi bergulung-gulung ombak besar dari selatan.

Mantra-mantra yang dirapalkan setiap hari, melalaikan sihir pertahanan. Sadar-sadar, telah ditiupkan padanya bait-bait pengecualian. Seperti jimat yang diselundupkan kala malam. Tidak meninggalkan bayang. Tidak sama sekali hadir dengan menantang. Gemericik yang tenang seperti tetes-tetes mata air yang ditampung sendhang.

Kemudian kami memutuskan berperang.

Mengendalikan.

--

Kami memutuskan merapalkan mantra kelahiran kedua. Kemudian kami tetapkan waktunya sebagai Hari Raya Kehidupan.

Saat terjerembab ke tanah. Kami menemukan bahwa tanah tersebut rupanya telah digali sangat dalam. Hujan telah melintasi atas replika lubang kubur yang ada. Sudah terjerembab, masuk ke dalam lubang, tenggelam pelan-pelan.

Kami mengalami dua fase tenggelam sekaligus. Tenggelam karena tsunami kreasi sel-sel endorphin. Tenggelam karena air karya presipitasi yang terus terjun ke replika lubang kubur yang tercipta. Keduanya bertaruh memenangkan kematian kami.

Akal kami padam. Napas kami tersengal.

Iman kami pada dua tahun sebelumnya, bahwa kami tidak akan mengajukan neko-neko sebagai jalan menuju kematian. Memutuskan untuk tidak perlu dulu menuju pada manfaat atau sukses atau bahkan bahagia. Bertahan, dengan gaya.

Satu tahun kemudian, kami berikrar:

Jika ambisi itu tidak baik, kami lepaskan… kami lepaskan. Balaslah kami. Balaslah kami dengan karunia hidup cukup dan bahagia.

Kami mengacu pada iman bertahan dengan gaya, tapi kami sadar penuh bahwa kami tidak akan bertahan, tanpa bahagia. Kami sadar penuh kami manusia.

Kemudian kami pun menyadari, bahwa bertahan dengan gaya artinya adalah tidak diam saja. Decode dilakukan.

Bergerak menjadi tafsir selanjutnya. Mengendarai motor adalah deskripsi panjangnya.

Kami muak mengendarai rollercoaster yang iblis ciptakan.

---

Kami memasukkan diri kami dalam kelompok sihir. Merapal mantra tidak membuat kami memiliki daya. Mantra-mantra itu terus kembali kepada jiwa kami selayaknya bumerang. Kami kehilangan kendali. Memasuki upacara dengan api unggun di tengah hutan, menjadikan kami menari sambil telanjang dengan jiwa transparan. Tapi tidak apa-apa, itu menjadikan kami jujur. Tidak ada yang kami tutup, sehelai pun.

Kami kemudian mengambil jubah biru terang yang tenang. Tiap-tiap ujungnya dilingkari bordir bunga jambu dan hijau dedaunan. Motif sulur vertikal membuat kami tampak sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Setiap sulur itu, berhulu pada awan-awan yang entah abu entah putih warnanya. Sulur itu adalah otot raga milik kami. Hulunya akan berwarna sebagaimana raga kami menafsirkan diri kami sendiri. Sehingga, warna hulu tidak pernah tetap, tidak pernah sama, tidak pernah bertahan lama.

----

Kami menafsirkan segalanya menjadi cinta

[dengan beragam makna dan ruang lingkup yang lain daripada sebagian manusia lainnya]

Yang membuat kami jatuh tanpa mau menyambut uluran tangan.

Sama sekali.

Masih berteguh.

Kepada yang bukan perkecualian.

Selainnya, kami masih bertahan dengan transaksi tanpa pertukaran adalah wujud keberadaan kami. Meski pandang-pandang transaksional menangisi kami yang dihargai menyedihkan. Kami tidak penah benar-benar mengenakan jubah.

Bagian paling memusingkan adalah munculnya kesadaran, pasca tsunami yang memenjarakan kami dalam trauma yang tak tercatat dalam ingatan. Kami menjadi berdebat panjang. Kami memperdebatkan awal mula. Ayam dan telur. Api dan asap. Tuhan dan, Tuhan.

Kami. Berdua.

Menguasai masing-masing ujung dunia. Siklus yang tidak ada, menjadikan kami bertarung sampai mati siapa yang akan berkuasa. Bergulat untuk saling mengunci dan menjatuhkan. Sebentar aku yang dikalahkan, tak lama kemudian aku yang mengalahkan. Pertarungan begitu cepat, tapi tenaga seperti dikuras berbulan-bulan kerja paksa.

Ketakutan-ketakutan yang subur dan kuat akarnya, memiliki dua wajah yang bergulat setiap tarikan napasnya. Keras. Telanjang.

-----

Topik kematian lama diabaikan. Kami menjadi fokus pada janji kelulusan.

Topik kematian lama diasingkan. Kami menjadi ingin hidup bersama sumber kilau selama yang dibisa.

Topik kematian, dipantik korek listrik yang kesepian. Kami berencana merevisi beberapa bagian.

------

Perhentian dengan durasi terpanjang kami selain stasiun akhir bersebut kematian rupanya tetap dan kokoh sejak ditetapkan. Kami kehilangan diri kami. Mengaku tidak lagi memiliki apa-apa. Cahaya-cahaya telah tersedot lubang hitam jiwa kami sendiri. Mempercayai bahwa kami akan memulai semuanya dengan kelahiran kedua. Tapi kami tidak. Kami tidak benar. Kami adalah pion Tuhan yang memberontak dengan setengah-setengah. Kami menyembunyikan segalanya. Kami tidak benar. Kami hanya menjadikannya relik-relik sebelum menuju upacara kematian.

Kami menyimpan semuanya. Di dalam peti yang gelap dan basah. Di dasar jurang laut terdalam. Kami menipu. Menutup-nutupi. Diri kami sendiri.

Sebab kendaraan jiwa kami. Rupanya berkecepatan cahaya. Sedang kami bahkan kesulitan mengikuti kecepatan suara.

Kokoh. Tapi tsunami besar meluluhkan seisi daratan.

Entah kesialan atau keberuntungan, kami kebingungan memaknainya. Sebab kami terus digerakkan oleh ketakutan-ketakutan sekaligus dituntun takdir kelahiran kedua, yang tidak terhindarkan.

Di atas tanah ke-22 ini,

Kami tengah berperang. Antarkami, terus berperang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tepian Jurang

Hidup Ideal(is)