Aula Kosong
Tidak nyaman bagi kami untuk berada dalam satu ruang besar yang kosong. Hanya sisi-sisi dinding mengelilingi berserta molekul-molekul gerak yang mata kami tak mampu tatap. Gema-gema membuat kedua telinga kami kebisingan. Bahkan kami menjadi kehausan sekaligus dalam ketakutan. Maka kemudian kami menjadikan diri kami binatang. Binatang sihir. Kami menjadikan diri kami telanjang. Melepaskan pertahanan manusia. Menggunakan insting untuk mendapatkan makanan. Namun, alam ialah kumpulan jaring makanan yang tak terputus.
Kami melupakan diri kami. Sepenuhnya berlaku menjadi binatang yang lapar. Kelaparan. Jiwa kami tersesat dalam lambung yang kosong. Jantung menjadi berdebu, hati menjadi lokasi pembangunan besar-besaran bagi kaum laba-laba. Kami kehilangan yang kami lupakan. Kami tumbuh menjadi binatang yang menyedihkan dalam arus evolusi yang tujuh puluh ribu kali lebih cepat dari yang seharusnya. Kami terlunta. Kami memutuskan kembali ke ruang yang entah bagaimana, sesak dengan benda-benda. Kami mencari-cari apa yang kami tinggalkan dan kami lupakan. Sayang, semuanya menjadi tercampur satu sama lainnya. Kami lupa memberikan identitas-identitas. Kami terlalu menjadi percaya diri bahwa kami adalah kami dan selamanya adalah kami, yang tidak akan lupa dengan kesejatian. Kami terseret arus menjadi paling gelimbir yang adalah bual.
Kami terjebak dalam perburuan tanpa akhir. Larut dalam hari-hari tanpa pertahanan. Menggadaikan diri kami untuk mendapatkan isi-isi ruang kosong yang pada akhirnya sesak dan membusuk di sana. Kami telah menggadaikan banyak hal dan menjadi tanpa pertahanan. Sesaat kami ingat bahwa itu adalah siasat kami sendiri. Namun beberapa waktu kemudian, kami menjadi menelan bulat-bulat siasat yang tidak berguna sama sekali. Kami berbohong. Itu berguna. Membuat kami tetap menjalani hari demi hari.
Kami yang telah lemah setelah menggadaikan pertahanan kami, diri kami sendiri, mulai menelusur yang hilang dan ditinggalkan. Kami menggeledah sudut-sudut tak terjamah hingga menemukan remah-remah materi kesejatian. Yang telah kami tinggalkan, hingga lupa.
Pilar-pilar menjadi kebanggan. Betapa kami rasa nyata. Meski pikir kami terus dalam pusaran kekacauan. Kami merasakan kehadiran pilar-pilar kokoh dengan sangat nyata. Debu yang menyelimuti jantung kami berguguran karena detak yang tak terputus dan terus mengikuti lagu-lagu dari seberang. Laba-laba mengalami kegagalan akbar, walikota terbukti korup, dan banyak pengusaha bangkrut sebab proyek-proyek hina tak dapat dilaksanakan. Pembagunan gagal sepenuhnya.
“Kami pikir,” dua kata teratas justifikasi-justifikasi, tergeser “benar, kami memutuskan melakukan ini?”
Fakta yang kami temukan setelah pembersihan besar-besaran atas benda-benda busuk di dalam ruang adalah bahwa ruang itu tidak pernah terisi apa-apa. Atapnya. Hanya atapnya yang rapat tertutup genteng. Membuat kami gila, sebab tak mampu menatap awan-awan dan pucuk-pucuk hijau terkena sinaran.
“Kami pikir,” dua kata teratas justifikasi-justifikasi, tergeser “benar, tanpa mandat?”
Komentar
Posting Komentar