SUSUL-MENYUSUL
Sehari kemarin kami membaca apa-apa yang sempat kami tinggalkan di sini. Sebelum ini, kami hampir membuat diri kami menyelami catatan-catatan sejak hari pertama kami memberanikan diri untuk mengetahui dan diketahui. Beruntungnya, kami telah lebih dahulu membaca apa-apa yang ada di sini. Kami batal menelusuri hari demi hari. Boleh jadi, kami akan mendapatkan perasaan lebih menyedihkan dibanding saat ini, jika kami benar-benar membaca satu demi satu catatan sejak hari pertama itu.
Kami tidak berani berkata-kata kepada diri kami sendiri. Kami tiba-tiba ingat pernah terkekeh karena salah satu sahabat paling berbinar dan lembut melakukan butterfly hug. Pun sebelumnya, sekeliling kami telah banyak membicarakan mengenai itu, namun bagi kami itu adalah konyol. Maksud kami, itu bahkan membuat diri sendiri menjadi lebih menyedihkan.
Kami menjadi bagian daripadanya. Menjadi menyedihkan dan rasa-rasanya menjadi lebih menyedihkan. Kami tidak berani berkata-kata kepada diri kami sendiri. Kami rasa-rasanya memang menyedihkan. Menemui lagi diri kami sebelum hari ini, rasanya tidak ada apapun yang pantas kami berikan selain peluk yang erat dan hangat. Kami menjadi sadar mengapa sepanjang kepulangan, kami terus memaksakan pelukan orang-orang agar menghampiri diri kami, sebab kami begitu menyedihkan.
Membaca yang kami tinggalkan di sini membuat kami mempertanyakan kesenangan yang kami pikir sempat kami miliki sesekali. Tidak ada jejak yang menjadikan kami benar yakin bahwa dalam kegelapan-kegelapan dan kesesakan panjang, kami masih menyaksikan matahari terbit dari timur dan merasakan hangatnya mengenai kulit kami yang kering.
Sungguh anugerah kami pikir, bahwa kami masih bernapas hari ini, makan dengan baik, dikelilingi manusia-manusia yang dari tubuhnya keluar pancaran sinar serupa api di tengah perkemahan, mandi dua kali sehari, bergerak ke sana dan ke mari, tidak lagi meraung meringik dan merintih sampai sampai sulit melihat dan sulit bernapas, tidak lagi terlalu mengimani ide bahwa makan adalah sesuatu yang tidak layak kami lakukan.
Ketika kami coba tatap lagi punggung milik kami yang hampir kehilangan tulangnya, hampir-hampir kami tidak percaya bahwa kami hari ini mampu berada di sini.
Sebelum kami memvalidasi mengenai depresi dan mania, kami pikir kami sudah cukup tahu dan akan familiar, namun ternyata, itu adalah dua fase yang lebih personal dari apapun.
Kami tidak akan menyebut kesengsaraan satu demi satu. Bukankah itu akan menjadikan kami lebih menyedihkan lagi? Namun satu yang paling ingin kami catat adalah bahwa luar biasanya fase ini, kami yang sedang bercanda dengan teman kami melalui whatsapp, tiba tiba menangis tersedu dan tidak dapat kami hentikan atas perintah diri kami sendiri. Air mata terus megalir seolah-olah kami adalah anak kecil yang tidak dituruti kemauannya, satu menit pertama: mata kami bengkak selayaknya manusia yang telah menangis semalam penuh. Kami yakin iu hanya satu menit. Kami kemudian memohon bantuan manusia kesayangan untuk menemani, khawatir atas diri kami sendiri, diri yang melakukan hal-hal diluar kesadaran kami. Malam itu, kami tidak dapat menghentikan tangis kami hingga berjam-jam lamanya. Kami tidak tahu apa yang merasuki kami, kesedihan macam apa atau kesengsaraan dalam seperti apa, kami tidak tahu. Kami saat itu hanya sedang bercanda dan terkekeh pelan. Dua yang paling totol adalah kami yang tidak mampu menggerakkan diri kami sendiri, selalu menjalani hari yang ketika kami berhasil hidup kembali saat matahari telah tergelincir, dan bahwa kami mengimani ketidaklayakan kami atas makanan sebab kami selalu gagal menjalani hari. Seumur kami saat itu adalah usaha yang sia-sia.
Kami ingat betul bahwa hampir selama satu minggu kami tidak mengantuk sedikit pun, terus bersemangat dan bersenang-senang, gigih mengajak semua manusia di dekat kami berpesta dan bersenang-senang, menghasilkan kata-kata manis dengan tidak terkendali dan bersenang-senang, menyalakan musik dengan keras dan bersenang-senang, terus berbicara dan bersenang-senang, menghampiri orang-orang asing dan bersenang-senang, bersenang-senang, dan bersenang-senang hingga pada saat-saat tertentu, kami takut akan diri kami sendiri.
Rasa takut akan dunia dan diri kami sendiri yang terus susul-menyusul adalah kehidupan milik kami yang tidak pernah kami duga-duga.
Komentar
Posting Komentar