Jurnal Resah
Gue banyak menceritakan hal-hal yang gue alami selama beberapa bulan ke belakang, yang adalah keresahan di mana gue pikir, tidak ada yang bisa menolong gue dari situasi ini, selain diri gue sendiri, dan Tuhan, tentunya. Tapi setidaknya, melalui uraian gue, gue bisa mengidentifikasi beberapa hal mendapatkan beberapa helai benang, meski benang-benang ini akan menjadi apa, gue tidak siap memikirkannya.
Sebelum sampai kepada keresahan utama gue, gue pikir, bukan masalah kalau gue meninggalkan beberapa benang dari uraian mengenai kebutuhan akan suatu hubungan yang kebanyakan manusia sebut sebagai berpasangan. Gue berpikir bahwa sekitar gue benar-benar mulai konsen mengenai isu ini, haha isu, well ya, ini adalah satu isu besar, ya kan?
Ya, pokoknya, kita anggap saja demikian.
Setiap mereka, menguraikan isi kepala dan keinginan? kebutuhan yang diinginkan? entah sih, tapi kami kemudian menjadikannya beberapa talian yang disebut sebagai alasan mengapa pasangan menjadi satu hal yang didamba, yang masih gue ingat dengan tepat sebutannya: kebutuhan untuk dimengerti; kebutuhan untuk membicarakan hal tidak penting; kebutuhan untuk istirahat dan bermanja; hilangnya penilaian diri sendiri atas judgement, sedang yang gue ga yakin tapi coba gue tarik benang based penyampaian masing-masing mereka adalah kebergantungan; keberserahan diri untuk meluruhkan ketangguhan; bebas mengekspresikan diri; dan memiliki perbincangan yang khas dan rahasia bagi manusia atau jenis relasi lainnya.
Gue, secara pribadi bersepakat bahwa alasannya adalah kebergantungan. Bagi gue, relasi yang gue bangun bersama manusia-manusia kesayangan gue, yang tentunya bukan sesuatu relasi yang disebut sebagai pasangan, sudah memberikan banyak hal yang menjadi alasan 'mereka' untuk memenuhi kebutuhan melalui relasi pasangan, kecuali kebergantungan (yang tentunya, terdefinisi secara khusus dengan level tertentu, yang gue dan kalian memiliki ukuran yang barangkali sama sekali berbeda).
Gue menguraikan ini, agar gue tidak lupa dengan apa yang gue definisi dan internalisasi secara terus-menerus dalam diri gue, dan menghindarkan diri gue dari ketidakpahaman atas diri sendiri.
Bagi gue, dalam relasi gue dengan manusia lainnya, yang membedakan relasi pasangan dengan macam relasi antarmanusia lainnya hanyalah kebergantungan dan komitmen. Barangkali, meski sebenarnya gue cukup yakin bahwa dalam definisi dan yang telah terinternalisasi dalam diri gue, indikator itu hanya gue ukur pada diri gue. Sebab, konteks pengukurannya adalah sesuatu yang berada di bawah kehendak hati, dan akuan oleh isi kepala. Pada konteks pengukuran subjek lain, selama gue berproses, gue hanya akan melakukan verifikasi dan uji awal dengan setidaknya satu kalimat akuan yang secara eksplisit dilontarkan. Gue tidak membiarkan diri gue untuk membuang waktu memproses informasi yang tidak utuh dan samar.
Kalimat akuan akan selalu memperoleh jawaban yang bersifat lugas, dan sejauh atau selama apapun relasi dibangun tanpa pernah disertai kalimat akuan adalah wahana permainan yang tepat ditinggalkan ketika sudah tidak menyenangkan, well kita bermain untuk bersenang-senang, kan? lagi pun, dalam relasi yang demikian, tidak ada variabel paksaan berupa tanggung jawab atau maintenance.
Teoritikal dan ribet, mungkin, tapi nilai ini benar-benar yang terinternalisasi dengan kuat.
Gue bahkan mendengar: susah, mental block; tapi, belum ada suatu keadaan yang membuat gue harus meredifinisi atau berusaha menginternalisasi nilai lainnya, so, see you(?)
Ngomong-ngomong, lingkungan gue, bahkan manusia-manusia kesayangan gue barangkali benar-benar telah memasuki waktu ingin menikah, dengan serius, yang, gue ga relate. Gue nggak ingin menyerahkan diri gue untuk bergantung, dan komitmen adalah relasi yang terlalu mengikat dan memaksakan kebertanggungjawaban, well, terima kasih, gue belum ingin.
Meski kalau diajak berpikir, gue akan bertanya: manusia seperti apa yang akan menggerakkan gue untuk melakukan redefinisi dan restrukturisasi nilai (anj bacot ngomong apa hahha), tapi hanya sebatas itu, dan hanya ketika perbincangan perihal ini dipantik oleh manusia lainnya.
Pada akhirnya, nilai yang, gue gatau kalian akan menyebutnya bagaimana, tapi hal itu kemudian menjadikan diri gue mengambil beberapa hal yang bagi gue adalah keuntungan, dari relasi yang sengaja dan gue kehendaki tercipta, dengan serampangan. Tanpa menyerahkan diri untuk bergantung dan tanpa menghadirkan tanggung jawab yang bersifat memaksa. Gue secara sadar memutuskan mengabaikan dan menutup mata pada sesuatu yang dinilai sebagai kerugian yang mengenai diri gue, tapi yaaaa secara sadar, gue menilai subjek yang dikenai beberapa kehendak gue menerima kerugian.
Gue tidak meminta kalian untuk mengerti apa yang sebenarnya ingin gue tuangkan sebab ini adalah uraian dan benang-benang yang tidak ingin gue lupakan-lagi, untuk menghindari keengganan kebertanggungjawaban memaksa menjadi sesuatu yang berarti ketidakbertanggungjawaban atau sesuatu yang tidak mempertimbangkan betapa berharganya manusia lain, haha ga sejauh itu sih harusnya, tapi, dalam pandangan manusia lain, mungkin saja, sejauh itu gue berlaku. Jadi, ya sudah, biarkan ini di sini.
Beranjak pada keresahan utama, pasca pertanyaan gue lontarkan di sini, gue menjadi semakin resah dan muak.
Kabar buruknya, kompas kewajaran gue mulai berubah. Gue bahkan belum sadar betul bahwa ia berubah atau tidak, namun setidaknya setelah bercerita panjang mengenai apa yang gue alami selama berbulan belakangan ini, satu manusia yang gue pikir bisa cukup kompatibel untuk mengembangkan relasi pertemanan mengatakan: itu nggak normal.
Waktu gue yang banyak dihabiskan dalam lingkar ambisi yang gue kembangkan sejak dahulu membuat gue menganggap bahwa dunia memang nyatanya berjalan dengan cara demikian. Sederhana dan kurang sehatnya, mungkin bisa disebut layaknya anak broken home yang menganggap bahwa pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga adalah cara pernikahan bekerja.
Gue menimbang untuk mengambil jalan lain menuju 'apa yang gue ingin menjadi', tapi secara jujur, gue lebih sering mempertimbangkan untuk mengambil jalan pelaporan kasus kekerasan seksual atau tidak. Dampak lainnya, adalah bahwa gue mulai takut kepada diri sendiri, jika saja, dengan tidak beruntungnya, gue hanyut, dan mendefinisikan dunia sebagaimana rusaknya bagian dunia yang gue tinggali.
Gue masih belum dapat mengukur diri gue sendiri untuk hal-hal yang berkaitan dengan keresahan utama ini, dan gue benar-benar merasa tidak dapat berkutik dari relasi kuasa yang bagi gue, sangat timpang.
Gue, sumpah, sangat ingin membunuh seksisme dan hal-hal sensualisme yang tidak dikehendaki. Dan patriarki, yang dalam pemahaman gue menjadi akar objektifikasi perempuan secara seksual. Gue masih seperti itu, tapi gue, kelimpungan dan sebentar lagi barangkali akan tenggelam akibat hal-hal itu. Gue sangat tidak mampu memahami mengapa seksisme dan sensualisme yang tidak diinginkan menjadi oksigen bagi manusia-manusia dalam bagian dunia yang gue memilih untuk berproses. Bukan gue tidak mengetahui realitas ini sejak awal, tapi gue gagal memahami mengapa realitas yang lebih buruk dari mimpi paling buruk terus eksis dan menjadi realitas tidak tergoyahkan sama sekali.
Gue tidak paham bagaimana keadilan sosial serta penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dapat diwujudkan dalam ekosistem yang sangat amat buruk dan berbau busuk ini. Barangkali kalimat barusan menjadi seperti kalimat bodoh yang terlontar dari mahasiswa semester satu yang lahap mengenal Tan Malaka atau Karl Marx dengan instan dari khotbah-khotbah munafik senior-seniornya, tapi gue tidak akan membantah. Satu hal yang pasti: tidak ada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak untuk gue.
Menjadi catatan bahwa yang paling gue takutkan adalah gue menjadi bagian daripada ekosistem buruk dan busuk itu serta menghidup-hidupi keburukan dan kebusukan.
Gue juga menjadi tidak yakin apakah jalan yang gue lalui dan tujuan yang sedang gue tuju adalah tepat, sebab keresahan utama ini menjadikan gue tidak memiliki cukup waktu untuk fokus menumbuhkan pengetahuan dan daya. Ini menjadi seperti, gue tidak cukup bertumbuh secara positif untuk tiba di tujuan. Barangkali, sampai di lokasi tuju, gue ialah cangkang, kosong, dan tidak berada di posisi 'tujuan'.
Gue selalu menenangkan diri dengan mengulang-ulang mantra bahwa gue ber-Islam dan terus berlaku untuk ber-Islam, tapi bagi gue, itu adalah indikator betapa lemahnya gue dengan daya, kontrol, dan kuasa yang gue punya.
Secara tidak sadar, sialnya gue menjadi manusia yang terus mengabarkan kepada manusia kesayangan: catet ya, gue di sini, sama ini, lagi ini. gue lagi ini karena harus, di sini ada ini, ini, dan ini, mereka sedang ini dan ini, catet ya. dan lainnya yang serupa.
Gue pikir, ini seharusnya cukup menyedihkan, tapi tidak ada rasa sedih atau penilaian bahwa ini bersifat negatif, mungkin, gue tanpa sadar telah menghidup-hidupi keburukan dan kebusukan, atau mungkin gue juga tidak saling lepas bagian dengan ekosistem yang buruk dan busuk itu.
Panjang umur,
Semoga panjang umur.
Komentar
Posting Komentar