Kesadaran Melambat
Setelah memperingati tahun pertama, kami langsung bertanya: apakah segera? memasuki fase yang paling membuat kami terpenjara dan merasa: pilihan paling cocok adalah menghilang dari dunia.
Benar saja, kami telah sampai di masanya.
Mata kami sangat berat dan seolah seluruhnya bengkak karena penuh dengan air mata yang enggan turun segera. Kepala kami serupa awan mendung. Abu-abu, berat, dan terus bertambah besar dengan menopang air yang harusnya segera turun menjadi rintik dan hujan.
Hari, berjalan begitu cepat, sebab kami, seluruh tubuh dan isi kepala kami, melambat.
Terapis kami terus terang gemas dengan tingkah laku kami yang sesuka diri menghentikan pengobatan. Untungnya, beliau memahami konteks atas tingkah laku kami tersebut.
Kami dengan sadar menyadari bahwa akan tiba lagi, di sini. Sehingga, kami telah mempersiapkan segalanya agar mendapat penanganan dengan lebih cepat. Tetapi, kami terlanjut terlambat, untuk beberapa hari.
Kami terburu telah menjalani hidup dengan sangat hampa. Sendirian, sangat sendirian. Dan, kami telah terburu merasa kecewa.
Semangat menjalani hari hilang sama sekali, tidak ada ketertarikan untuk memenuhi hak tubuh terhadap makanan, malas berbicara, tidak lagi merasa memiliki kesenangan akan apapun, tidak dapat mengekspresikan apa-apa dengan luwes, dan semuanya berjalan sangat lambat.
Kami merasa, dunia sudah bukan bagian atas diri kami. Hanya saja, kami telah menangkap perbedaan, dibandingkan setahun sebelumnya.
Kami tidak ingin mati.
Kami hanya, bagaimana mengatakannya? Kami hanya tidak merasa hidup tetapi kami juga tidak ingin mengakhiri kehidupan yang masih dibiarkan Tuhan ini.
Berita lain, bersamaan dengan satu tahun dan kembalinya siklus di fase ini. Kami menemukan dua orang baru. Satu adalah sebaik-baik teman yang menyenangkan, satu lainnya seolah kami telah lama mengenalnya.
Peringatan bagi kami adalah bahwa kami dilarang menjadi sangat tergantung kepada keduanya atau bahkan salah satu darinya.
Kami tidak ingin membiarkan diri kami mengulangi apa-apa yang seharusnya menjadi pembelajaran bagi kami di tahun sebelumnya.
Kesadaran kami melambat.
Bangun di pagi hari, seluruh tubuh kami bergerak dengan kesadaran sangat lambat. Kami hany berusaha menggerakkan tubuh untuk membuka mata, bangkit, mandi, dan berganti pakaian. Kepala kami tidak benar-benar menyadari kegiatan kami. Sampai akhirnya kami harus bertemu manusia lainnya.
"Hari ini, Mufida tidak seperti Mufida."
Kami merespon manusia lain dengan sangat lamban. Kerja kami juga seolah tanpa kesadaran barang setengah.
Ibuk meminta maaf kepada kami.
Beliau masih terus percaya bahwa gagalnya kami atas diri kami sendiri dan bahwa listrik di dalam kepala kami bermasalah adalah sebab beliau yang menjadikan kami lebih cepat mengolah kecerdasan lain selain kecerdasan emosional kami.
Jelas, itu bukan salah Ibuk. Bukan salah Bapak. Bahkan bukan salah kami, kan?
Kami pikir, konsumsi jenis obat yang bertambah akan cukup membawa kami pada menjalani hari-hari dengan cukup normal---seperti biasa. Ternyata, lagi kami sampaikan, kesadaran kami, masih terasa begitu melambat. Ya, setidaknya, untungnya, kami tidak berhenti. Kami masih dapat memaksa diri, untuk menjalani hari dengan cukup normal---seperti biasa.
Kami jadi teringat sempat mengirimkan reels instagram bahwa sebagai teman, hati-hatilah barangkali ajakan yang ditolak itu dapat memperbesar niat untuk meninggalkan dunia dengan cara paksa---mati di tangan sendiri--- jujurnya, kami hanya becanda kala itu. Tetapi, di tahap ini, itu sangat amat mungkin terjadi. Beruntung, kami sedang berada diantara keinginan hidup dan menyudahi.
Kabar baiknya, saat kami menulis ini, kesadaran kami mulai bekerja sebagaimana umumnya. Sayangnya ini sudah pukul tiga lewat.
Barangkali benar: bukan waktu berlalu begitu cepat, kami yang tidak beranjak kemana-mana. Waktu adalah hal yang tetap, sedang kami, manusia dengan kesadaran yang melambat.
Komentar
Posting Komentar